Srimulyani (52) telah mengantre selama 30 menit di Poliklinik Rosela, Rumah Sakit Soeradji Tirtonegoro, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (6/2). Bukan untuk konsultasi ataupun mengambil obat resep dokter, Srimulyani membeli jamu untuk membantu mengontrol gula darah. Kondisinya membaik setelah berobat dan mengonsumsi jamu.
"Awalnya, saat berobat karena gula darah tinggi, saya ditawari mengonsumsi jamu. Setelah minum jamu ternyata enak. Di rumah, saya buat sendiri jamunya, tinggal merebus daun salam dan kunir,” katanya.
Di Poliklinik Rosela, RS Soeradji Tirtonegoro, jamu telah menjadi terapi komplementer alternatif. Poliklinik Rosela merupakan bagian dari jejaring klinik saintifikasi jamu yang berperan dalam riset khasiat jamu.
Tradisi minum jamu sebagai upaya memelihara kesehatan telah berlangsung turun-temurun. Namun, khasiat dan keamanan jamu sebagai pilihan terapi tak punya dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Untuk itu, Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menempuh saintifikasi jamu sebagai terobosan demi menghadirkan bukti ilmiah khasiat dan keamanan jamu warisan nenek moyang kita. Saintifikasi diharapkan jadi jembatan dalam mengintegrasikan jamu pada layanan kesehatan formal.
Peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Yuli Widiyastuti, Kamis (5/2), menjelaskan saintifikasi jamu adalah upaya membuktikan khasiat jamu secara ilmiah.
Jamu saintifik berbeda dengan obat tradisional, obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka. Obat tradisional adalah sediaan bahan alam belum terstandar yang manfaatnya belum berdasarkan hasil pengujian ilmiah, tetapi kepercayaan. Adapun OHT adalah obat tradisional bentuk ekstrak yang sudah terstandar dan lewat uji praklinik (pada hewan).
Sementara fitofarmaka juga merupakan obat tradisional bentuk ekstrak dan terstandar yang tak hanya diuji praklinik, tetapi juga uji klinik pada manusia. Bentuk sediaan OHT dan fitofarmaka bisa kapsul atau pil.
Adapun jamu saintifik tidak melalui uji praklinik, karena selama ini secara empiris masyarakat sudah menggunakannya. Sama seperti fitofarmaka, jamu saintifikasi telah melalui uji klinis tahap I-IV. Bentuk jamu saintifikasi berupa simplisia untuk direbus atau kapsul.
Riset obat
Pembuktian secara ilmiah khasiat jamu tak mudah mengingat ada banyak sekali ramuan jamu yang dikenal masyarakat. Untuk itu, riset obat berbasis budaya (etnomedicine), yaitu Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja), dilakukan pada tahun 2012. Tujuannya, mengidentifikasi ramuan jamu dan tumbuhan obat yang biasa dipakai berbagai etnis di Tanah Air.
Riset yang melibatkan 25 perguruan tinggi di Indonesia itu baru mencakup 209 etnis atau 20 persen etnis yang ada di Indonesia. Hasilnya, dari 26 provinsi di luar Jawa dan Bali, teridentifikasi 15.773 ramuan yang peruntukannya didominasi penyakit seperti demam, sakit kepala, masalah kulit, dan gangguan pencernaan. Selain itu, ditemukan ramuan untuk malaria (486 ramuan) dan tuberkulosis (75 ramuan). Hasil Ristoja 2012 menunjukkan ada 1.740 jenis tanaman yang dijadikan obat.
Dengan penelitian berbasis layanan yang melibatkan jejaring dokter dan klinik saintifikasi jamu, dihasilkan lima jamu saintifikasi. Lima jamu itu adalah jamu hipertensi ringan, asam urat, dispepsia atau mag, hemorrhoid atau wasir, dan osteoartritis atau radang sendi.
Salah satu jamu yang tersaintifikasi ialah jamu untuk hipertensi ringan (tekanan darah di bawah 140/90 mmHg). Jamu yang sudah tersaintifikasi tahun 2013 itu terdiri dari kumis kucing, pegagan, seledri, temulawak, kunyit, dan meniran. Perpaduan tanaman itu menghasilkan kombinasi berkhasiat.