Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sindrom Langka, Tiga Anak Balita Obesitas Ini Tak Pernah Berhenti Makan

Kompas.com - 18/04/2015, 13:00 WIB

KOMPAS.com — Banyak orangtua yang pusing menghadapi kelakuan anak balitanya yang sulit makan. Namun, keluarga di India ini justru bingung bagaimana membiayai ketiga anaknya yang obesitas karena tak pernah berhenti makan.

Yogita Rameshbhai Nandwana (5 tahun), Anisha (3 tahun), dan Harsh (18 bulan) tergolong sebagai anak-anak paling berat di dunia. Dengan berat badan 34 kilogram (Yogita), 48 kilogram (Anisha), dan 15 kilogram (Harsh), asupan yang biasa mereka makan dalam satu minggu cukup memberi makan kepada dua keluarga dalam sebulan.

Karena bukan keluarga mampu, Rameshbhai Nandwana, sang ayah, berencana untuk menjual ginjalnya sendiri demi mendanai pengobatan anak-anaknya. Ia ingin menghasilkan uang yang dibutuhkan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis ternama.
 
"Jika anakku terus tumbuh secepat ini, mereka akan memiliki masalah kesehatan yang besar. Kami takut mereka akan meninggal," ungkap pria asal Gujarat, India, tersebut.

Setiap harinya, Yogita dan Anisha memakan 18 roti chapati, 1,4 kilogram nasi, 2 mangkuk kaldu, 6 bungkus keripik, 5 bungkus biskuit, 12 pisang, dan satu liter minuman. Rasa lapar yang ekstrem tersebut membuat Pragna Ben, ibu mereka, menghabiskan mayoritas waktunya dalam sehari untuk membuat makanan.

"Hariku dimulai dengan membuat 30 roti chapati dan satu kilogram kari sayur pada pagi hari. Setelah itu, aku kembali ke dapur untuk menyiapkan lebih banyak makanan," terang ibu berusia 30 tahun ini.

"Rasa lapar mereka tidak pernah berhenti. Mereka menginginkan makanan sepanjang waktu, menangis dan berteriak jika tidak diberi makanan. Aku selalu berada di dapur, memasak untuk mereka," lanjut Pragna.

Pasangan tersebut mempunyai satu anak perempuan tertua, Bhavika (6 tahun), yang memiliki berat badan rata-rata, yakni 16 kilogram. Mereka pun tidak paham mengapa ketiga anaknya yang lain sangat besar.

"Ketika Yogita lahir, dia sangat lemah dan beratnya hanya 1,5 kilogram. Kami sangat khawatir akan kesehatannya. Jadi, kami beri makanan sebanyak mungkin baginya selama tahun pertama kehidupannya untuk membangun kekuatan. Akan tetapi ketika ia menginjak usia satu tahun, berat badannya sudah mencapai 12 kilogram," ujar Rameshbhai.

Berat badan putri ketiga mereka, Anisha, juga bertambah dengan cara yang sama. Pada tahun pertamanya, berat badan Anisha sudah mencapai 15 kilogram.

"Kami sadar mereka mengidap gangguan ketika putra kami, Harsh, lahir dengan kenaikan berat badan yang cepat selama tahun pertama. Kami mulai mencari pertolongan medis dan berkonsultasi dengan banyak dokter, tetapi mereka hanya merujuk kami pada rumah sakit yang lebih besar, dan aku tak sanggup membiayainya," papar ayah berusia 34 tahun ini.

Rameshbhai hanya memperoleh 3.000 rupee (sekitar Rp 620.000) per bulan. Namun, ia biasanya memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan demi memenuhi selera makan yang besar pada anak-anaknya.

"Aku seorang pekerja harian dan biasanya dibayar 100 rupee (sekitar Rp 20.000) per hari, dan ada saat aku tidak bekerja sama sekali. Aku bekerja di ladang,  menggali sumur, dan melakukan pekerjaan kasar apa pun yang bisa menghasilkan uang. Aku terus khawatir dalam mencari uang untuk memberi makan anak-anakku yang selalu lapar," tuturnya.

Meskipun pendapatannya minim, Rameshbhai menghabiskan sekitar 10.000 rupee (sekitar Rp 2 juta) per bulan untuk makanan bagi anak-anaknya. Rameshbhai mengatakan bahwa dirinya tak tega membiarkan anak-anaknya kelaparan.

"Jika tidak memiliki uang, aku meminjamnya dari kakak dan teman. Akan tetapi, aku memastikan untuk memberikan mereka makan ketika mereka membutuhkannya," katanya.

Rameshbhai menghabiskan 50.000 rupee (sekitar Rp 10 juta) untuk menemui dokter dan pengobatan selama tiga tahun terakhir. Sayangnya, tidak ada perubahan pada kondisi ketiga anaknya.

"Di keluarga kami tidak ada yang memiliki figur raksasa seperti ini. Hanya anakku yang kelebihan berat badan. Sebagai orangtua, sangat sedih rasanya ketika melihat mereka tidak bisa bergerak. Mereka tidak bisa berjalan, tidak bisa melakukan banyak hal secara mandiri. Langkah untuk menjual ginjalku tampak seperti sebuah keputusasaan, tetapi aku sekarang putus asa untuk mendapatkan bantuan yang tepat untuk anak-anakku," ungkapnya.

Pragna tidak bisa mengangkat anaknya sehingga ia harus mengawasi mereka berguling-guling ketika suaminya sedang bekerja. Ia juga menggunakan troli untuk membawa anaknya.

"Mereka membutuhkanku saat mandi atau ketika hendak ke toilet. Beratku hanya 40 kilogram, jadi mustahil untuk menggendong mereka. Hal itu merupakan perjuangan ketika suamiku sedang bekerja," ucap Pragna.

Mereka biasanya dilarang berada di tempat yang sama sepanjang hari dan, karenanya, mereka tidak bisa pergi ke sekolah. "Semua yang dapat mereka lakukan sepanjang hari adalah makan, bermain, dan tertawa satu sama lain. Aku ingin putriku mendapat pendidikan dan bermain seperti anak-anak lainnya. Aku ingin mereka memiliki hidup. Ini bukanlah hidup," lanjutnya.

Sindrom langka

Dokter setempat percaya bahwa ketiga anak tersebut mengidap sindrom Prader-Willi, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengobatinya. Kondisi genetik langka ini menimbulkan gejala-gejala yang beragam, termasuk rasa lapar berkelanjutan, otot berkurang, pertumbuhan terbatas, dan kesulitan belajar.

Seorang dokter anak di Mandavia Children's Hospital di Gujarat, India, dr Akhsay Mandavia, mengatakan, "Ada akumulasi abnormal lemak pada ketiga anak ini. Mereka tidak mampu bernapas secara normal sehingga timbul mengi. Kondisi mereka bisa disebabkan oleh penyakit endokrinal atau sindrom Prader-Willi. Akan tetapi, kami hanya bisa memastikan pengobatan yang tepat setelah diagnosis yang tepat di salah satu rumah sakit utama kami."

Sindrom Prader-Willi (PWS) merupakan kondisi genetik yang langka dan menyebabkan berbagai macam masalah. Misalnya, rasa ingin makan terus-menerus, yang dipicu oleh perasaan lapar yang menetap dan bisa mengarah pada kenaikan berat badan yang berbahaya. Lalu, pertumbuhan menjadi terbatas sehingga perawakan tubuh menjadi pendek.

Sindrom ini juga mengurangi otot, membuat penderitanya mengalami kesulitan belajar, kurang perkembangan seksual, dan masalah perilaku, seperti mudah marah atau keras kepala. Hal ini disebabkan oleh cacat genetik pada kromosom nomor 15, yang terjadi murni secara kebetulan, dan biasanya didiagnosis dengan melakukan tes genetik. Sayangnya, tidak ada obat untuk kondisi tersebut. (Purwandini Sakti Pratiwi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau