Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hati-hati Memilih Makanan “Pengganjal" Perut

Kompas.com - 06/11/2015, 11:57 WIB
Ayunda Pininta

Penulis

Sumber Daily Mail

KOMPAS.com - Situasi ini mungkin kerap menghampiri: Anda merasa lapar di antara waktu makan. Saat perut mulai “berbunyi” dan mulut tak bisa menahan godaan untuk mengunyah, beberapa potong brownies atau sekantong keripik kentang mampu menjadi "pengganjal" perut, sambil tetap melakukan aktivitas kantor atau pekerjaan rumah.

Sayangnya, rutin memakan camilan yang salah dalam porsi yang cukup banyak bisa memicu penyakit metabolik. Ungkap sebuah penelitian yang baru saja dirilis pekan ini dalam jurnal FASEB.

Para peneliti mendapati, orang-orang yang rutin mengonsumsi camilan tidak sehat di antara waktu makan, berpotensi mengalami reaksi berantai pada tubuh yang akhirnya menyebabkan penyakit metabolik.

Mayo Clinic mendefinisikan penyakit metabolik atau sindrom metabolik sebagai kondisi yang meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, serta diabetes. Semua itu dimulai dari peningkatan tekanan darah, gula darah yang tinggi, kelebihan lemak tubuh sekitar pinggang, serta naiknya kadar kolesterol yang disebabkan oleh makan berlebih di luar jam makan utama.

Dr. Susan Wopereis dan tim peneliti dari TNO, Microbilogy, and Systems Biology Group di Belanda melibatkan dua kelompok relawan dewasa. Satu kelompok terdiri dari 10 orang sehat, sementara kelompok lain terdiri dari 9 orang dengan risiko sindrom metabolik.

Kedua kelompok terlebih dahulu diambil sampel darah sebelum diminta untuk meminum segelas milkshake. Setelah segelas minuman tinggi kalori tersebut habis, peneliti menemukan proses biokimia yanga bnormal yang berhubungan dengan pencernaan gula dan lemak pada tubuh responden di kelompok kedua.

Kelompok pertama lantas diminta rutin memakan camilan di antara waktu makan, seperti kue, kacang, permen, keripik setiap harinya. Peneliti menemukan, kebiasaan mengemil tersebut mampu menambah kalori yang masuk ke dalam tubuh hingga 1300 kalori dan setelah 4 minggu berjalan ditemukan proses biokimia abnormal seperti yang terjadi pada kelompok kedua.

“Sering mengonsumsi makanan tidak sehat, terutama junk food adalah situasi di mana otak berkata ‘iya’ namun tubuh berkata ‘tidak’,” kata Dr. Gerald Weissman, pemimpin redaksi dari jurnal FASEB. Sayangnya penelitian ini mengingatkan kita untuk menggunakan otak untuk mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh tubuh. Camilan lezat ternyata punya konsekuensi kesehatan yang lebih besar ketimbang kelezatan yang didapat,” lanjutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau