Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/11/2015, 14:56 WIB
Sri Noviyanti

Penulis


“Ngobrolin sanitasi yang terlintas di kepala saya itu ada dua, yaitu ember dan payung…”

KOMPAS.com – Kutipan di atas adalah ungkapan spontan dari mulut Hartini Erpi Nurjanah. Perempuan itu lebih dikenal dengan nama Ikke Nurjanah (41).

Ikke lalu bertutur tentang kehidupan masa kecilnya. Cerita tentang anak metropolitan, tapi tak serta merta punya akses kebersihan dan sanitasi yang baik.

"Saya tinggal di Jakarta. Tapi, apa ada yang tahu, ibu kota saja masih ada yang termarjinalkan?” lanjut Ikke saat menuturkan kisahnya dalam Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) 2015.

"Kalau urusan buang air, ah sudah susah saja urusannya," kenangnya.

Ikke berkisah, hingga dia berumur sepuluh tahun tak ada tempat buang air besar di dalam rumahnya. Karena itu, dia harus selalu keluar rumah ditemani ayah atau ibu ke satu-satunya tempat terdekat untuk urusan tersebut.

"Kalau mau buang air mesti ke satu tempat pembuangan yang letaknya di belakang bandara. Dulu itu bandara masih di Kemayoran. Karena khawatir anaknya diintip dari pesawat yang lewat, ibu dan bapak sigap nutupin pake payung," tutur Ikke.

Ingat akan hal itu Ikke selalu tertawa. Pun, ia tak lupa betapa repotnya urusan buang air besar yang merupakan hajat sehari-hari.

"Repot karena mesti selalu bawa ember dan payung. Itu bikin sebal bila harus buang air," tuturnya.

Bagi Ikke kecil, punya kamar mandi bagus adalah impiannya. Kini, kamar mandi di dalam rumah sudah menjadi hal lumrah, bahkan menjadi standar sebuah tempat tinggal.

Dia melanjutkan, dalam perjalanan waktu profesinya sebagai penyanyi membawanya berkeliling hingga pelosok-pelosok daerah. Dari situ dia melihat bahwa sanitasi layak dan bersih tak selalu ada dan dirasakan masyarakat.

"Kalau sedang mengisi acara di daerah dan mendapati toilet kotor, jadi ingat masa kecil dulu. Kadang fasilitas toiletnya bagus, tapi sayangnya tidak terawat," ujar Ikke.

Kondisi tersebut tak pelak mengingatkan dia pada masa kecilnya dulu. Puluhan tahun berlalu, dia mengaku khawatir sekaligus tak habis pikir bila masih ada “Ikke-Ikke” kecil lain di luar sana, yang selalu repot dan merasa kesal tiap kali hendak buang air besar.
 
Dari “manggung” sampai konser

Ikke tergugah. Kenangan masa kecil dan kepedulian di hatinya saling bertautan. Hatinya kerap berontak.

Bersama manajemennya, Ike mendalami lebih lanjut tantangan sanitasi. Dia lalu mendatangi Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) Nasional. Niat awalnya, komplain dan bercerita.

"Komplain saya disambut dengan baik. Saya diberi informasi lengkap mengenai sanitasi di Indonesia," ujar Ikke tentang awal interaksi dengan pokja tersebut.

Bahkan, komplain tersebut bersambut tawaran berbagi pengalaman di acara KSAN 2015. Gayung bersambut. Ia spontan menyanggupi demi meraih impiannya; ikut mewujudkan sanitasi yang baik dan merata di seluruh Indonesia.

Sejak itu, Ikke selalu menyempatkan bercerita soal sanitasi layak. Di sela kesibukannya bernyanyi, dia menyisipkan masa kecilnya. Cerita tentang ember dan payung.

"Kadang sambil manggung pun saya sering menyerukan dan memberi pesan pada siapa saja untuk ikut berkontrbusi langsung demi kebersihan dan sanitasi yang lebih baik," tutur Ikke.

Ikke tidak sendirian. Di kalangan selebritas, ada juga vokalis grup Payung Teduh, Mohammad Istiqamah Djamad. Bersama grup-nya itu, Is, panggilan sang penyanyi, punya cara tersendiri untuk menyuarakan kepedulian untuk sanitasi.

Kepeduliannya berbuah kerja. Payung Teduh hadir di balik sukses konser amal “Singing Toilet”, hajatan untuk membantu korban letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara mendapatkan fasilitas sanitasi layak.

Cara itu dilakukan Payung Teduh untuk membantu para korban bencana asap yang menyelubungi Pulau Sumatera dan Kalimantan. Film dokumenter, tutur Is, sedang mereka siapkan bersama teman-temannya untuk lebih mendengungkan kesadaran atas kebersihan dan sanitasi.

"PR" besar

Sejak dulu, sarana sanitasi dasar dan air minum layak terus menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung rampung. Pemenuhan akses air minum layak dan sanitasi dasar sampai menjadi salah satu target Milennium Development Goals (MDGs) yang ditetapkan PBB pada 2000.

Indonesia terus berupaya meningkatkan pemenuhan target itu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia secara nasional telah mewujudkan air minum layak bagi 68,36 persen populasi dan akses sanitasi dasar kepada 61,04persen populasi pada 2014.

Demi mendorong akses air minum layak dan akses sanitasi dasar bagi seluruh penduduk Indonesia, pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 mencanangkan pula “Gerakan 100Persen Akses Air Minum dan Sanitasi pada 2019”. Gerakan ini secara ringkas disebut sebagai “Akses Universal 2019”.

Paling tidak, pemerintah menargetkan dalam 5 tahun ke depan ada peningkatan 40 persen di bidang sanitasi layak dan  30 persen akses air minum aman. Tentu, pemenuhan target itu tak semudah membalik telapak tangan. Indonesia butuh banyak Ikke dan Is lainnya untuk mewujudkan target itu.

Apakah Anda salah satunya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com