Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/03/2015, 15:15 WIB
Dian Maharani

Penulis

 

 

SUMBA BARAT, KOMPAS.com – Anak-anak berjalan kaki sambil membawa jeriken plastik berisi air merupakan pemandangan yang biasa dilihat di sejumlah desa di Sumba Barat, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan itu mereka lakoni karena air tak mengalir langsung di toilet atau WC rumah maupun sekolah mereka.

Di Sekolah Dasar Inpres Puli, Kecamatan Wanukaka, ada jadwal piket bagi anak-anak untuk mengambil air di sumber mata air yang sudah dialirkan melalui pipa. Letaknya tak jauh dari sekolah, yaitu sekitar 100 meter.

Sebelumnya, ada bak penampungan air. Namun, pipa yang tehubung ke bak itu dipotong oleh orang tak bertanggung jawab.

Di SD ini, terdapat tujuh bangunan WC atau toilet. Tetapi hanya satu yang berfungsi. Di situlah murid dan juga guru buang air kecil. Kepala sekolah SD Inpres Puli, Pike Rade Kaka mengungkapkan, toilet sekolah yang rusak sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki.

Sering kali pembangunan fasilitas sanitasi yang layak di sini tidak bertahan lama. Tak hanya pipa air yang dipotong, ada pula pintu kamar mandi juga dicuri. Akhirnya, hanya satu kamar mandi yang digunakan untuk 115 siswa, siswi, serta guru. Ketika jam istirahat sekolah, mereka pun harus antre ke toilet. Akibatnya, masih ada anak-anak yang buang air sembarangan.

“Jujur saja memang masih ada anak-anak buang air sembarangan,” kata Bertha Bangi Lida, Wali Kelas II SD Puli, Rabu (4/3/2015).

Letak sekolah ini memang jauh dari keramaian kota. Listrik pun belum mengalir di sekolah ini. Rata-rata, anak-anak harus berjalan kaki lebih dari 1 kilometer dari rumah mereka untuk bisa menempuh pendidikan. Tak semua anak-anak di sini mengenakan sepatu. Beberapa di antara mereka berjalan di atas aspal tanpa alas kaki.

Begitu juga yang terjadi di SD Masehi Wee Kabete, Kecamatan Loli. Mengenai kondisi sanitasi, di sekolah ini terdapat lima toilet, tetapi hanya dua yang berfungsi dengan baik. Jumlah toilet ini pun kurang memadai untuk 187 murid dan 14 guru. Toilet ideal di sekolah, perbandingannya yaitu 1 toilet untuk 25 murid perempuan dan 1 toilet untuk 50 murid laki-laki.

“Di sekolah, anak-anak buang air di WC, tapi kalau sudah kembali ke rumah kita tidak tahu,” kata Kepala sekolah Sesilia Solibeko.

Sekolah ini mengandalkan air dari sumur. Namun, air hanya berlimpah saat musim hujan. Saat musim kemarau, air pun kering. Pada musim kemarau, anak-anak biasanya juga membawa botol ataupun jeriken berisi air ke sekolah.

Berdasarkan hasil peninjauan di Kecamatan Loli dan Wanukaka oleh lembaga swadaya masyarakat untuk anak-anak, Save The Children, hanya sekitar 25 persen sekolah yang memiliki sumber air bersih. Kebanyakan dari mereka mengandalkan air hujan dan membawa air dari rumah ke sekolah.

Dian Maharani SD Inpres Puli, Kecamatan Wanukaka, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.


Edukasi sanitasi

Berdasarkan Data Riset kesehatan Dasar Indonesia 2013, Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi terendah di Indonesia terhadap akses sanitasi yang layak, yaitu 30,5 persen.

Bupati Sumba Barat  Jubilate Pieter Pandango menyadari, salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan fasilitas sanitasi yang  layak di Sumba Barat adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya sanitasi. Akibatnya, banyak fasilitas sanitasi yang tidak dirawat, bahkan sengaja dirusak.

Dia mengatakan, pemerintah daerah sendiri pernah mengalakkan program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsinmas). Namun, seiring berjalannya waktu, banyak sarana yang dirusak seperti pemotongan pipa atau pompa air yang hilang.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau