Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/12/2015, 16:00 WIB

Gazi menambahkan, indoktrinasi akan berlangsung hingga pelaku teror sampai pada titik tak mungkin kembali. "Pada saat itu, hidup atau mati sama saja. Bahkan, kematian sering dianggap jalan menuju kehidupan yang lebih baik," ujarnya.

Kelompok rentan

Mudah tidaknya seseorang terjebak kelompok teror amat bergantung penghargaan diri dan kebermaknaan hidupnya. "Mereka yang penghargaan dirinya rendah rentan direkrut kelompok teror," kata Mirra.

Rendahnya penghargaan diri dipengaruhi pengalaman hidup. Seseorang tanpa peran penting dalam keluarga atau masyarakat atau punya masalah keluarga berpeluang jadi pribadi labil. Saat kepercayaan mereka terguncang sedikit, kelompok teror mudah memperdayanya.

Dalam perkembangan psikologi manusia, kelompok umur 21-28 tahun yang paling rentan mengalami krisis identitas. Secara biologis mereka dewasa, tetapi secara psikologi belum matang. "Terlebih, usia psikologi manusia Indonesia cenderung mundur akibat proses otonomi diri yang lebih lambat," katanya.

Di Indonesia, anak dianggap mampu mengembangkan otonomi diri setelah bekerja. Sebelum itu, tidak hanya bergantung secara ekonomi ke orangtua, tetapi juga arah hidupnya.

Karena itu, orangtua perlu memberi anaknya tanggung jawab dalam keluarga. Jika terjadi kesalahan, itu hal wajar karena mereka sedang belajar dan perlu dituntun agar memperbaiki diri.

Selain itu, mereka yang rentan terjebak terorisme adalah individu yang berpikiran tertutup, pola kognitifnya kaku, dan hanya melihat sesuatu dengan cara benar dan salah, sangat tekstual. Mereka tidak terbiasa melihat sesuatu yang berbeda, sulit menoleransi ketidakpastian maupun menghargai proses.

"Kondisi itu diperparah dengan pola pendidikan yang mendukung pola pikir tertutup, kurang menghargai kreativitas berpikir," kata Gazi.

Deradikalisasi

Kerentanan seseorang jadi pelaku teror tidak dipengaruhi status ekonomi, tingkat kecerdasan, ataupun status pekerjaan. Kesamaan di antara pelaku teror adalah mereka butuh bermakna secara signifikan.

Karena semua orang berpeluang jadi teroris, lanjut Mirra, teror takkan pernah bisa dihentikan meski kelompok teror sulit jadi populasi mayoritas. "Akan selalu ada kelompok yang aspirasinya tak mendapat tempat di masyarakat hingga tidak bisa melakukan mobilitas sosial untuk memperbaiki status kelompoknya," katanya.

Karena itu, untuk mencegah terus berkembangnya kelompok-kelompok radikal, deradikalisasi harus menyeluruh dengan pendekatan berbagai aspek, mulai pendidikan, agama, budaya, sosial, hingga psikologi.

Deradikalisasi tidak hanya urusan aparat keamanan atau organisasi agama, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

Dukungan publik sangat memengaruhi eksistensi kelompok teror. Menurut Gazi, penolakan masyarakat terhadap kelompok teror di daerahnya bisa mempersempit gerak mereka. Penolakan itu juga menyadarkan sebagian anggota kelompok teror bahwa masyarakat yang mereka klaim sedang diperjuangkan tak sepenuhnya mendukung.

Selain itu, deradikalisasi berbasis komunitas amat penting mengingat ukuran benar-salah di Indonesia bukan pada nilai atau norma, melainkan seberapa besar dukungan masyarakat.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul "Semua Berpeluang Jadi Teroris".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau