Menanggapi hal itu, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, masalah virus Zika harus mengedepankan bukti ilmiah.
"Kita bisa saja berandai-andai, tapi kita sebaiknya mengeluarkan statement (pernyataan) berdasarkan bukti ilmiah yang cukup. Saat ini, belum ada bukti cukup kuat virus Zika baik kesengajaan atau kecelakaan," ujar Amin saat ditemui di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu (17/2/2016).
Amin mengatakan, penelitian virus Zika sebagai penyebab bayi lahir dengan mikrosefali sejauh ini memang masih dugaan. Mikrosefali adalah gangguan perkembangan otak yang menyebabkan bayi lahir dengan ukuran kepala kecil. Penelitian lain juga menemukan banyak wanita hamil yang terinfeksi Zika, tetapi bayinya lahir normal.
"Memang kita baru tahap dugaan kuat, belum ada korelasi pasti zika yang menyebabkan mikrosefali," kata Amin.
Virus Zika pun sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Di Indonesia, virus Zika pernah terdeteksi di Klaten, Jawa Tengah tahun 1981 dan kasus terbaru ditemukan di Jambi tahun 2015.
Zika juga dikenal hanya sebagai virus ringan jika menular ke manusia. Bahkan, penyakitnya lebih ringan dari chikungunya dan demam berdarah dengue. "Gejalanya ringan, belum ada pengobatannya dan bisa sembuh sendiri," lanjut Amin.
Sementara itu, sebelumnya sekelompok dokter di Argentina mengatakan, bukan viru Zika yang menyebabkan mikrosefali, melainkan zat kimia dalam larvasida yang disebut Pyriproxyfen. Lavarsida itu dibuat oleh perusahaan Jepang Sumitomo Chemical yang ditambahkan dalam sumber air minum warga Brasil tahun 2014.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.