KOMPAS.com - Belakangan ini sejumlah wanita memilih melahirkan di rumah. Dokter memperingatkan wanita yang pernah dioperasi caesar sebaiknya menghindari ini karena mereka lebih berisiko tinggi mengalami komplikasi.
Temuan itu berawal dari analisis kurang lebih 2,4 juta kelahiran antara tahun 2007 dan 2013. Dari data itu, 4.500 kelahiran dilakukan di rumah dibantu bidan.
Studi tersebut menemukan, kelahiran di rumah bagi wanita dengan riwayat operasi caesar ada hubungannya dengan risiko lebih besar untuk komplikasi neurologis pada bayi atau bayi lahir meninggal.
"Ini langka," kata pemimpin penelitian Dr Amos Grunebaum, kepala persalinan di New York-Presbyterian Hospital/Weill Cornell Medical Center di New York. "Tetapi, ketika terjadi sangat membahayakan. Di rumah sakit dapat dilakukan segera operasi caesar untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Hal ini tak mungkin dilakukan di rumah," katanya.
Grunebaum mempresentasikan temuannya di pertemuan tahunan American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) di Washington DC. Riset yang dipresentasikan pada pertemuan itu dianggap masih awal sampai diterbitkan di peer-reviewed journal.
Saran ACOG saat ini menyatakan bahwa pusat persalinan dan rumah sakit adalah tempat teraman untuk melahirkan.
Namun, wanita juga punya hak membuat keputusan sendiri dari informasi medis yang diterimanya di mana ia akan melahirkan.
Tetapi, melahirkan di rumah masih menjadi pengecualian aturan itu. Data sertifikat kelahiran di AS yang dipublikasikan awal tahun mengindikasikan jumlah bayi yang dilahirkan di luar rumah sakit meningkat dari kurang satu persen pada 2004 menjadi 1,5 persen di 2014.
Dr. Evan Myers, profesor obstetri dan ginekologi dari Duke University School of Medicine di Durham, N.C. mencatat bahwa satu abad kemajuan ilmu obstetri membuat kelahiran bayi semakin aman tanpa memandang lokasi.
"Tetapi wanita yang sebelumnya pernah dioperasi caesar memiliki bekas luka di rahim yang berisiko pecah saat melahirkan," jelas Myers. "Risiko masih rendah. Tetapi jika terjadi bakal menjadi buruk untuk si bayi dan ibu juga."
Untuk mengeksplorasi isu ini, tim Grunebaum menyelidiki data sertifikat yang dikumpulkan oleh Center of Disease Control and Prevention (CDC).
Semua bayi yang dilahirkan di usia kehamilan 37 minggu atau lebih memiliki berat lahir normal. Paling tidak 2,5 kg. Semua juga menjalani uji Apgar saat lahir. Ini merupakan uji standar yang dinilai dari skala 1 sampai 10 untuk mengukur kapasitas pernapasan bayi baru lahir, detak jantung, kekuatan otot, reflek dan warna kulit.
Bayi dengan skor 7 dinilai sehat. Bayi yang tak bernapas atau tak memiliki detak jantung diberi skor 10.
Peneliti menemukan bahwa risiko mendapat skor 0 termasuk langka, tetapi lebih tinggi ketika melahirkan di rumah. Sama halnya, risiko bayi baru lahir akan mengalami serangan atau komplikasi neurologis serius lebih tinggi pada kelahiran di rumah.
Mengapa? Kurangnya monitoring janin di rumah adalah bagian dari masalah, juga ketidakmampuan melakukan operasi caesar dengan cepat ketika dibutuhkan.
"Setiap perempuan harus memutuskan sendiri tempat untuk melahirkan," tegas Grunebaum. "Hal yang dapat saya katakan adalah kita harus menyarankan wanita ada peningkatan risiko untuk kelahiran di rumah dan karena itu tidak direkomendasikan," katanya.
Marlene Goldman, direktur divisi riset klinis di departemen obstetri dan ginekologi Dartmouth-Hitchcock Medical Center, Lebanon, N.H. Ia setuju bahwa risiko untuk ibu dan bayi pada kelahiran di rumah melebihi manfaatnya.
Untuk mereka yang ingin melahirkan di rumah, Goldman mengatakan sebaiknya mereka punya rencana cadangan yang meliputi transportasi darurat untuk membawa ibu ke rumah sakit. Mungkin saja rencana cadangan itu terlalu terlambat untuk menyelamatkan ibu dan bayi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.