KOMPAS.com – Dwi (27 tahun) menggelengkan kepala melihat tingkah laku dua keponakan remajanya, Bagas (14) dan Kiki (15), selama pertemuan keluarga. Mereka tidak lincah dan berisik layaknya Dwi ketika remaja, tetapi sibuk bersama gawai masing-masing.
Dari pagi hingga pertemuan keluarga hari itu usai menjelang sore, interaksi kedua remaja itu dengan para kerabat hanya berupa sepatah dua patah kata sapaan. Berikutnya, mereka kembali asyik dengan gadget-nya.
Gelengan Dwi bertambah dengan lirikan heran ketika Bagas dan Kiki minta dipesankan ayam goreng dari restoran siap saji di dekat rumah. Mereka sama sekali tidak menyentuh hidangan apa pun yang telah tersedia di meja.
Miris hati Dwi melihat tingkah keponakan mudanya. Bukan apa-apa, ia takut kebiasaan kurang gerak serta pola makan kedua remaja itu justru membawa mereka pada kemungkinan mengidap beragam penyakit, salah satunya diabetes.
Merujuk data otoritas setempat, hingga akhir 2015 ada setidaknya 208.000 anak-anak dan remaja di bawah usia 20 tahun yang menderita diabetes. Dari jumlah itu, mayoritas disebut menderita diabetes tipe 1 karena faktor genetis.
Namun, data yang sama menegaskan bahwa melonjaknya kasus obesitas pada anak-anak juga meningkatkan angka kasus diabetes 2 pada anak-anak dan orang-orang berusia muda. Padahal, sebelumnya diabetes tipe 2 dikenal lebih banyak menjangkiti orang-orang berusia di atas 45 tahun.
"Anak-anak dengan diabetes dan keluarganya menghadapi tantangan yang lebih unik terkait penyakit ini," tulis situs web National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) National Institutes of Health (NIH).
Di Kanada, temuan serupa juga mengemuka. Riset atas populasi 7,3 juta anak-anak dan remaja berusia kurang dari 18 tahun di negara itu mendapati ada 345 kasus diabetes bukan dari tipe 1. Dari setiap 100.000 responden, ditemukan indikasi ada 1,54 anak menderita tipe 2, dengan rata-rata usia 13,7 tahun, dan bahkan 8 persen di antara penderita berusia di bawah 10 tahun.
Temuan serupa juga muncul di Indonesia. Data Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menyebutkan setidaknya tercatat 731 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun menderita diabetes melitus pada 2012. Angka ini meningkat dari jumlah total 590 anak dan remaja pada 2011.
Bila diabetes tipe 1 dipicu oleh ketidakmampuan organ tubuh menghasilkan insulin, diabetes tipe 2 lebih dipicu oleh gaya hidup. Pola makan dengan kandungan kalori berlebihan tanpa diimbangi aktivitas fisik yang sesuai, menjadi salah satu di antara penyebab utama diabetes tipe 2 terutama pada pasien berusia muda.
Pertama, kesukaan menyantap makanan siap saji sebaiknya disiasati dengan menambahkan sayuran, seperti salad, sebagai pendamping. Bagaimanapun, tubuh tetap memerlukan asupan serat untuk menjaga kesehatan pencernaan dan asupan vitamin alami. (Baca juga: “Fast Food”, Jalan Tol Menuju Diabetes)
Jika tidak suka makan sayur, remaja dapat mengganti dengan jus buah. Meski kandungan gizi jus tidak setara, minuman ini bisa menjadi alternatif. Namun, ingatlah untuk memilih buah segar dan memprosesnya sendiri daripada membeli jus kemasan yang kaya akan gula.
Kedua, remaja disarankan untuk lebih aktif mengikuti kegiatan di lingkungan sekitar, misalnya ekstrakulikuler di sekolah atau perkumpulan remaja lainnya. Hal ini untuk menghindari kecendrungan menghabiskan waktu dengan bermain ponsel atau menonton televisi di rumah.
Semakin banyak kegiatan, semakin banyak pula kalori dalam tubuh yang terbakar. Penggunaan energi ini mampu mencegah menumpuknya kandungan gula darah dalam tubuh. Selain itu, remaja pun bisa mengenal teman baru dan memperluas pergaulan.
Apabila sudah mengikuti banyak kegiatan, jangan lupa untuk selalu menyediakan waktu istirahat cukup bagi tubuh Anda. Tidur kurang dari 8 jam per hari terbukti dapat mengurangi sensivitas insulin karena sistem metabolisme justru bekerja di saat manusia sedang terlelap.
Kekurangan sensitivitas terhadap insulin berisiko meningkatnya kadar gula darah. Hal ini disebabkan karena proses pengubahan zat gula menjadi energi terhambat.
Terakhir, remaja dan orangtua perlu menyadari pentingnya memeriksa kadar gula darah secara berkala. Tes kesehatan ini membantu untuk mencegah kemungkinan mengidap diabetes.
Terlebih, pengecekan gula darah saat ini sudah mudah dilakukan tanpa perlu ke rumah sakit, salah satunya dengan alat tes OneTouch SelectSimple. Dengan dibantu orangtua, remaja bisa melakukan sendiri di rumah.
Cukup memasukkan test strip, tes gula darah pun dimulai begitu Anda menempelkan tetesan darah pada lembar tes. Dalam waktu lima detik, hasil tes sudah dapat dilihat. Ingat, ambang batas normal gula darah ada di angka kurang dari 100 mg/dl dan termasuk tinggi pada nilai 126 mg/dl.
Sah rasanya dikatakan bahwa remaja masih memiliki waktu panjang terbentang di hadapannya. Tak lucu bila berbagai kegiatan dan prestasi yang mungkin dapat mereka raih terhalang karena risiko diabetes.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.