Kanker menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar di dunia, termasuk Indonesia. Terbatasnya pengetahuan dan kesadaran warga terhadap pentingnya hidup sehat serta deteksi dini penyakit berkelindan dengan ketidakmampuan sistem pelayanan kesehatan mengendalikan penyakit kronis ini.
Ketika seseorang divonis kanker, seakan dunia berakhir saat itu juga. Terdorong rasa takut pada pengobatan medis, sebagian orang memilih terapi alternatif daripada medis. Gayung bersambut dari pelaku pengobatan alternatif yang membanjiri dunia maya dengan informasi keliru dan tak bertanggung jawab seputar kanker.
Endang Widarti (56), penyintas kanker leher rahim (serviks), menuturkan, semula ada flek di vaginanya selama tiga pekan 20 tahun lalu. Hasil pemeriksaan dokter spesialis kebidanan dan kandungan dan Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menunjukkan, ia positif kanker serviks.
Begitu tahu didiagnosis kanker serviks stadium dini, Endang tak langsung berobat ke dokter. Ia tertarik iklan terapi alternatif di sinse di sebuah tabloid berisi pengakuan perempuan sembuh dari kanker serviks. Ia pun mencoba berobat ke sinse itu.
Ibu dua anak itu berobat ke sinse selama tujuh pekan dengan mengonsumsi obat dan teh. Namun, kondisinya kian parah. Saat diperiksa lagi, stadium kanker Endang naik jadi stadium IIA. Dari awalnya hanya keluar flek, jadi keluar gumpalan darah. "Testimoni bohong. Saya telepon enggak bisa. Saya telepon ke tabloidnya katanya enggak tahu," ujarnya, Kamis (2/2), di Jakarta.
Endang akhirnya kembali menempuh pengobatan medis. Ia menjalani operasi pengangkatan rahim, 25 kali radioterapi, dan 5 kali kemoterapi. Semakin hari, kondisinya membaik. Kini, meski 20 tahun jadi penyintas kanker, ia rutin periksa kesehatan.
Menurut Wakil Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) Sonar Soni Panigoro, pasien kanker umumnya mencoba terapi alternatif sebelum berobat ke dokter. "Biasanya pergi ke 'orang pintar'. Setelah gagal, baru berobat ke 'orang bodoh' seperti kami, saat stadium kankernya lanjut," ujar Sonar yang juga ahli bedah kanker.
Padahal, jika terapi dilakukan saat kanker stadium dini, peluang kesembuhan 95 persen. Jika stadium kanker lanjut, apalagi menyebar ke organ lain, peluangnya 20-40 persen. Makin lanjut stadium kanker, terapi kian sulit.
Menurut Sonar, terapi medis jadi pilihan tepat menanggulangi kanker. Operasi, kemoterapi, dan radioterapi ialah metode umum mengobati kanker. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, ada terapi target dan hormonal.
Sejauh ini, belum ada bukti ilmiah pengobatan alternatif bisa mengganti terapi standar medis kanker. Pengobatan alternatif bisa merugikan pasien karena stadium kanker justru naik.
Di sisi lain, sejumlah pengobatan komplementer bisa bermanfaat. Contohnya, pengobatan herbal menambah kekebalan tubuh meski belum terbukti ilmiah dan cara kerja belum diketahui. Sementara cara kerja kemoterapi diketahui ilmiah, yakni mematikan sel kanker.
Kini, KPKN menerbitkan panduan penanganan kanker bagi dokter dan rumah sakit. Namun, itu belum sepenuhnya bisa diterapkan karena kemampuan dokter dan fasilitas terbatas. Akibatnya, diagnosis kanker luput atau penanganan kanker di RS rujukan sekunder tidak tepat.
Penyintas kanker payudara, Almaida (32), misalnya. Ia memeriksakan diri di dua RS pemerintah setelah merasa ada yang aneh di payudaranya. Dokter di dua RS itu tak mendiagnosis dirinya kena kanker. Vonis kanker ia dapatkan seusai diperiksa di RS Kanker Dharmais.
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi kanker 1,4 per 1.000 warga atau 347.000 orang. Kanker terbanyak pada perempuan ialah kanker payudara dan kanker serviks. Pada pria, kanker terbanyak ialah kanker paru dan kolorektal.
Selain rumit, terapi kanker butuh biaya besar. Sebelum ada program Jaminan Kesehatan Nasional, biaya jadi kendala terbesar pasien berobat. Dengan JKN, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menanggung biaya terapi kanker. Pada 2015, BPJS Kesehatan mengeluarkan biaya Rp 2,9 triliun bagi 1.300 pasien kanker peserta JKN.
Melonjaknya pasien kanker di era JKN menyebabkan pasien yang akan dioperasi, kemoterapi, dan radioterapi menumpuk di RS rujukan. Mereka antre layanan beberapa bulan. "Sehari, 800 pasien berobat dan kasus baru kanker RS Dharmais 2.000 kasus setahun," ucap Kepala Instalasi Deteksi Dini RS Kanker Dharmais Denni Joko Purwanto.
Sebanyak 70-80 persen dari jumlah total pasien yang datang ke RS Kanker Dharmais sudah dalam stadium lanjut. Sistem rujukan dan rujuk balik belum membuat pasien dilayani sejak dini karena sedikit RS bisa menangani kanker.
Pada Sabtu, 4 Februari, semua negara memperingati Hari Kanker Sedunia bertema "Kita Bisa, Aku Bisa". Maknanya, tiap orang berperan mengurangi beban kanker. Kita bisa menjalani pola hidup sehat. Cari, pilah, dan pilih informasi kanker yang benar. (ADHITYA RAMADHAN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Februari 2017, di halaman 5 dengan judul "Cari Alternatif sampai Antre Layanan".