KOMPAS.com - Tubuh merespons sesuatu atau kejadian dengan dengan rasa senang, marah, takut, dan sebagainya. Respons tersebut dikenal sebagai emosi.
Lazimnya emosi bisa dikontrol. Namun apabila emosi atau stres sudah berlebihan, kita bisa terkena sindrom patah hati (Tokotsubo cardiomyopathy).
Beberapa pemicu sindrom patah hati antara lain kematian orang terdekat, diagnosis medis yang menakutkan, kehilangan pekerjaan, kejutan tiba-tiba, sampai konflik rumah tangga.
Melansir Kompas.com (7/3/2019), sindrom yang kali pertama diperkenalkan sejumlah dokter di Jepang ini terjadi ketika otot jantung tiba-tiba melemah dan mengakibatkan jantung berubah bentuk.
Baca juga: Bukan Hanya Kehilangan, Sindrom Patah Hati Juga Berasal dari Otak
Seperti dilansir WebMD (6/12/2019), terdapat beberapa gejala yang lazim menyambangi pengidap sindrom patah hati. Salah satunya nyeri dada.
Hal itu didasarkan hasil riset dengan melibatkan 30 pasien kanker di MD Anderson Cancer Center di Houston. Argumen diperkuat dengan laporan lain yang menyebut, seorang dokter menemukan pasien paru-paru kronis dan gangguan lambung akut juga mengalami nyeri dada.
Hasil diagnosis mengungkapkan salah satu ruang pompa utama jantung pasien tersebut melemah. Sehingga, pasien mengeluhkan rasa sakit di dada, disertai sesak napas.
Kondisi tersebut sekilas menyerupai serangan jantung. Namun para ahli setempat menyimpulkan mereka yang mengalami sindrom patah hati karena terdapat lonjakan hormon mirip adrenalin.
Lonjakan hormon tersebut membuat jantung tersengat sehingga gejalanya menyerupai serangan jantung.
Baca juga: Waspadai Sindrom Patah Hati karena Terlalu Bahagia
Sementara, Kepala Unit Kardiologi Klinis Spectrum Health Fred and Lena Meijer Heart Center di Michigan, Jeffrey Decker, menyebut sindrom patah hati tidak melulu disebabkan masalah kesehatan.
Ia menangani kasus pasien seorang perempuan yang mengalami sindrom patah hati setelah mengetahui putrinya kehilangan pekerjaan.
Ada juga kasus seorang perempuan terkena sindrom patah hati setelah ditinggal mati anjing kesayangannya.
Semula ia dikira mengidap serangan jantung. Karena mengalami tanda klasik serangan jantung seperti sakit punggung yang parah, dadanya nyeri, dan sakit saat berbalik badan.
Baca juga: Anjingnya Mati, Seorang Wanita Alami Sindrom Patah Hati dan Masuk UGD
Selain nyeri di bagian dada yang mirip gejala serangan jantung, pengidap sindrom patah hati juga jamak mengalami sesak napas, mual, muntah, dan jantung berdebar.
Kendati beberapa gejalanya gampang dikenali, perlu pengujian lebih lanjut dari ahlinya untuk menyimpulkan seseorang didiagnosis sindrom patah hati.
"Sekitar 95 persen pasien bisa pulih dalam satu atau dua bulan. Tingkat keberhasilan penyembuhan biasanya cukup tinggi. Kematian pada pasien yang tidak memiliki riwayat komplikasi jarang terjadi. Angkanya di bawah 3 persen," jelas Decker.
Baca juga: Patah Hati Bukan Sekadar Kiasan, Komplikasinya Mematikan
Melihat faktor risiko orang dengan tingkat stres tinggi bisa terserang sindrom patah hati, satu-satunya langkah antisipasi adalah mengelola emosi.
Sekilas istilah mengelola emosi memang terdengar sederhana, namun tidak mudah bagi orang yang mengalami sindrom tersebut.
Seperti yang dialami Joanie Simpson saat putrinya meninggal dunia. Ia butuh waktu cukup lama agar bisa lepas dari sindrom patah hati. Ia berupaya keras berpikir santai. Setelah tiga tahun terapi medis, kini ia sudah baik-baik saja.
Ia juga mencoba rileks dengan memiliki binatang peliharaan, bersenang-senang dengan pasangan, dan sesekali bepergian dengan teman baiknya.
Sejumlah pasien juga diberi terapi medis dengan cara diberi obat untuk membantu memperbaiki dinding jantung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.