KOMPAS.com – Penyakit sifilis atau raja singa masih mengintai masyarakat. Temuan kasus penyakit ini bahkan disebut memiliki tren naik.
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Surakarta, Dr. dr. Prasetyadi Mawardi, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV, mengatakan angka temuan kasus sifilis pada dua-tiga dekade ini masih tergolong rendah.
Namun, angka tersebut menunjukkan kenaikan dalam 5 tahun terakhir.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu membeberkan data hasil penelitian bersama rekan-rekannya pada 2016-2018.
Menurut temuannya, sifilis menduduki peringkat kelima temun kasus terbanyak di Poliklinik Infeksi Menular Seksual RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan prevalensi 3,56 persen.
Sedangkan empat temuan kasus teratas, yakni kutil kelamin atau condyloma acuminata (71,4 persen), kencing nanah atau gonnorhoea (7,90 persen), herpes genital (5,53 persen), infeksi chlamidia atau non-spesific urethritis (4,74 persen).
Pras, sapaan akrab dokter tersebut, mengungkapkan bahwa manifestasi klinis sifilis sekarang tidak menunjukkan gambaran yang lazim ditemukan.
Gejala dan tandanya banyak yang tidak khas lagi.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum ini memiliki beraneka ragam tanda klinis.
Maka dari itu, sifilis juga kerap dikatakan sebagai the great imitator disease atau penyakit yang tidak memiliki gejala spesifik.
Dokter Pras yang termasuk anggota Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia itu menceritakan gejala sifilis bisa mirip dengan jerawat.
Gejalanya juga bisa mirip eksim, penyakit kulit eritropapuloskuamosa maupun penyakit bula kronik seperti pemfigus.
Baca juga: Kencan Online Tingkatkan Jumlah Pengidap Sifilis di Melbourne
“Sifilis adalah salah satu penyakit paling menarik pada manusia,” ujar Dokter Pras ketika diwawancarai Kompas.com (15/12/2019).
Infeksi bakteri penyebab sifilis yang tidak diobati biasanya akan berkembang melalui beberapa tahapan, mulai dari tahap primer, sekunder, laten, hingga tersier.
Pras menjelasan, luka yang muncul pada tahap primer biasanya tunggal atau soliter pada kemaluan.
Luka pada pria sering dijumpai pada bagian glans penis, batang penis. Sedangkan pada wanita, sering dijumpai pada bibir vagina.
Luka ini biasanya tidak menimbulkan gejala apapun seperti nyeri, panas atau pedih. Oleh karena itu, biasanya dianggap ringan oleh pasien.
Luka tersebut juga bisa sembuh sendiri, menutup sendiri.
Pada stadium primer ini dituntut pengetahuan yang memadai dan kejelian pada dokter. Pasalnya, pemeriksaan darah belum banyak membantu proses diagnosis.
Pras menerangkan, pemeriksaan yang direkomendasikan adalah pemeriksan secret yang ditemukan pada luka dengan menggunakan alat mikroskop khusus bernama mikroskop medan gelap.
Tidak semua rumah sakit atau laboratorium klinik memiliki alat ini.
Oleh karena keterbatasan ini dan asimptomatik atau ketidaksadaran akan gejala yang muncul, seringkali pasien akan jatuh pada sifilis sekunder.
Baca juga: Kenali Gejala Infeksi Sifilis yang Sedang Melonjak di Jepang
Pada tahap sekunder, gejala dan manifestasi klinik penyaki sifilis menjadi nyata. Pemeriksaan penunjang yang sangat membantu dalam menegakkan diagnosis sifilis adalah pemeriksaan serologic test for syphilis.
Pada pemeriksaan ini, ada 2 macam pemeriksaan yang dipakai.
Pertama, menggunakan antigen non treponema, yaitu rapid plasma reagin (RPR) dan venereal disease research laboratory (VDRL).
Kelebihan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas tinggi namun keakuratan dan relibialitasnya agak kurang.
Tes ini biasanya digunakan untuk pemeriksaan secara rutin dan massal serta untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Kedua, tes yang memiliki sensitivitas tinggi dan keakuratan serta relibialitas tinggi adalah pemeriksaan Treponema Pallidum Haemagglutination Assay (TPHA) dengan menggunakan antigen treponemal. Kedua pemeriksaan ini menggunakan serum darah pasien.
Pras meyakini, peningkatan prevalensi sifilis di berbagai daerah di Indonesia dan bahkan di berbagai belahan dunia karena dipicu oleh peningkatan reaktivitas HIV/AIDS.
Penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia itu menjadi trigger factor peningkatan sifilis.
Hal ini apalagi makin diperngaruhi oleh meningkatnya perubahan perilaku seksual di berbagai komunitas.
Baca juga: Infeksi Sifilis Melonjak Tajam di Jepang, Ada Apa?
Ketua Kelompok Studi Herpes Indonesia tersebut menambahkan kini pasien-pasien yang diduga mengidap sifilis otomatis akan diperiksa juga HIV-nya.
Begitu juga sebaliknya, pasien dengan HIV reaktif, akan dilakukan pemeriksaan serologic sifilis.
Bahkan dalam upaya mencapai Universal Health Coverage, pemerintah telah memperkenalkan program eliminasi terhadap ibu hamil berupa zero syphilis, zero HIV/AIDS dan zero hepatitis B.
Pras menceritakan, pada Oktober 2019 lalu telah diadakan forum International Conference on Public Health (ICPH) di Best Western Hotel Solo Baru Sukoharjo.
Dalam kesempatan itu, ia memaparkan penelitian mahasiswanya tentang Profil Infeksi Menular Seksual pada Kelompok Homoseksual dan Transgender.
Penelitian karya dr. Ancella Soenardi dan kawan-kawan itu memaparkan insidensi yang tinggi infeksi menular seksual dan HIV pada kelompok berisiko, yaitu kelompok homoseksual dan transgender.
Dari 190 individu berisiko yang diteliti, didapatkan adanya 158 homoseksual dan 32 transgenders.
Baca juga: Lewat Lidah, Intip Penyakit Alergi hingga Sifilis
Dari jumlah itu, sekitar 65 orang (34,2 persen) diketahui HIV reaktif and 67 pasien (35,3 persen) positif infeksi menular seksual, meliputi 39 pasien dengan sifilis (20,5 persen), kutil kelamin 26 pasien (13,7 persen), gonorrhoea 1 pasien (0,5 persen), non-specific proctitis 14 pasien (7,4 persen).
“Kita sudah maklum bahwa transmisi sifilis adalah kontak seksual dengan penderita yang terpapar kuman Treponema pallidum pada stadium menular, baik stadium primer, stadium sekunder maupun stadium laten dini,” kata Pras.
Dia menjelaskan luka pada sifilis primer merupakan pintu masuk virus HIV.
Begitu juga sebaliknya, pada penderita dengan HIV reaktif yang mengalami kekebalan tubuh individu menurun drastis, menjadi media yang ideal untuk penularan sifilis.
Oleh karena itu sifilis mudah ditemukan pada komunitas-komunitas berisiko seperti kaum homoseksual, transgender, dan seksual multipartner.
Dengan deteksi awal pada individu-individu yang dicurigai, pengobatan yang memadai tentu akan dapat menurunkan prevalensi sifilis.
“Sampai saat ini first line therapy untuk sifilis adalah Penisilin, terutama Benzatin Penisilin dan Penisilin Procain. Meskipun pengobatan lini kedua dan ketiga macamnya cukup banyak, angka keberhasilan terapi dengan Penisilin cukup tinggi,” ujar Pras.
Di sisi lain, lanjut dia, edukasi dan pendampingan pada pasien-pasien dengan infeksi menular seksual dan HIV sangat perlu dilakukan sebagai upaya eliminasi HIV/AIDS pada tahun 2030.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.