KOMPAS.com - Pernahkah Anda mendengar mitos pria juiga bisa mengalami mual dan momen ngidam saat sang istri mengandung? Yah, fenomena tersebut bukan sekadar isapan jempol belaka.
Faktanya, penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Men's Health menemukan 25 hingga 72 persen pria di seluruh dunia juga merasakan gejala kehamilan ketika sang istri sedang berbadan dua.
Dalam dunia medis, istilah tersebut dikenal dengan sebutan sindrom couvade. Melansir Mayo Clinis, sindrom cauvade biasanya terjadi ketika sang istri berada pada trimester pertama dan ketiga masa kehamilan.
Baca juga: Amankah Melakukan Donor Darah Saat Pandemi Covid-19?
Gejala-gejaja yang dialami bisa seperti berikut:
- Gejala fisik
Gejala-gejala bisa termasuk mual, mulas, sakit perut, kembung, perubahan nafsu makan, masalah pernapasan, sakit gigi, kram kaki, sakit punggung, dan iritasi kemih atau genital.
- Gejala psikologis
Gejala-gejala ini mungkin termasuk perubahan pola tidur, kecemasan, depresi, penurunan libido dan kegelisahan.
Sindrom ini tidak masuk dalam kategori gangguan kesehatan mental. Namun, beberapa penelitian menunjukan orang yang memiliki riwayat gangguan suasana hati berisiko besar mengalami sindrom couvade.
Menurut data Healthline, sindrom couvade bisa terjadi karenna faktor-faktor berikut ini:
1. Stres
Kehamilan dapat menyebabkan berbagai emosi untuk pasangan manapun. Seringkali, momen tersebut diwarnai oleh kombinasi kebahagiaan dan stres. Hal inilah yang berperan besar dalam memicu sindrom couvade.
Ketakutan akan peran sebagai orangtua juga bisa membuat seorang pria mengalami sindrom ini.
2. Pseudocyesis
Teori lain juga mengatakan, sindrom couvade bisa terjadi bersamaan dengan pseudocyesis atau kehamilan hantu.
Menurut data Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, kehamilan hantu merupakan kondisi yang membuat seseorang mengalami gejala kehamilan tanpa benar-benar hamil.
Hal ini membuat orang lain percaya bahwa ia sedang hamil dan kemudian mengalami sindrom couvade.
Baca juga: 6 Penyebab Seseorang Bisa Meninggal Saat Tidur
3. Empati
Sindrom couvade juga bisa terjadi karena adanya rasa empati. Orang yang memiliki rasa empati tinggi juga bisa merasakan ketidaknyamanan yang dialami orang lain.
Oleh karena itu, sindrom ini juga bisa terjadi saat kita melihat orang lain kesakitan atau merasa tidak nyaman.
Seorang individu yang secara alami lebih empatik mungkin lebih cenderung memiliki rasa simpati dalam menanggapi ketidaknyamanan orang lain.
Misalnya, melihat seseorang terluka dapat menyebabkan sensasi fisik saat kita berempati dengan rasa sakit mereka bahkan kita juga bisa mengalami perubahan suasana hati.
Bahkan, kita juga bisa merasa sakit saat pasangan atau orang terdekat kita kesakitan.
Tidak ada pengobatan yang tersedia untuk sindrom couvade. Namun, sindrom ini bisa diminimalisir dengan melakukan manajemen kecemasan dan stres.
Hal ini bisa kita lakukan dengan menerapkan relaksasi, diet sehat, dan olahraga teratur.
Jika kecemasan atau depresi akibat sindrom couvade mengganggu rutinitas sehari-hari, sebaiknya kita segera mencari bantuan profesional kesehatan mental.