Oleh: Mandy Ramadhanty Khaerunissa, S.Psi dan Dr. Naomi Soetikno, M.Pd.
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan kondisi kronis dan pervasif yang ditandai dengan kurangnya atensi, atau tingginya impulsifitas dan juga aktivitas berlebih.
ADHD juga merupakan salah satu gangguan di masa kanak-kanak yang paling umum dan memengaruhi 5 persen dari anak usia sekolah (Polanczyk & Jensen 2008).
Salah satu sekuel ADHD yang seringkali terjadi pada keluarga dengan anak-anak ADHD adalah peningkatan stres pengasuhan (Johnston dan Mash 2001).
Meskipun memiliki stres dalam pengasuhan dianggap normal (Crnic dan Greenberg1990), orangtua yang mengalami tingkat stres yang ekstrem mungkin menderita secara psikologis dan mungkin kurang mampu untuk mengimplementasikan intervensi untuk membantu anak-anak mereka (Kazdin1995).
Meningkatnya stres pengasuhan juga dapat memengaruhi hubungan orangtua-anak dan berdampak negatif pada cara orangtua melakukan pengasuhan kepada anak (Abidin 1992; Rodgers 1998).
Sejumlah penelitian (misalnya, Anastopoulos et al. 1992; Breen dan Barkley 1988; Harrison dan Sofronoff 2002; Mash dan Johnston 1983; Podolski dan Nigg 2001; Riley dkk. 2006; van der Oord dkk. 2006), telah melaporkan peningkatan dari tingkat klinis stres pengasuhan pada orangtua akibat gejala yang dimiliki anak ADHD.
Studi-studi ini telah mengidentifikasi meningkatnya stres pengasuhan dalam keluarga anak-anak dengan ADHD, termasuk di dalamnya stres pengasuhan akibat masalah perilaku anak secara internalisasi (Beck et al. 1990; Breen dan Barkley 1988; Mash dan Johnston 1983) dan perilaku eksternalisasi (misalnya, Anastopoulos et al.1992; Podolski dan Nigg 2001; van der Oord dkk. 2006).
Stres pengasuhan merupakan pengalaman orangtua dalam mengasuh anak, yang muncul ketika tuntutan dihadapi orangtua melebihi harapan atau sumber daya yang mereka miliki.
Kemudian berdampak pada kesuksesan peran orangtua dalam mengasuh anak (Deater-Deckard, Chen, & El Mallah, 2013).
Di dalamnya juga termasuk tentang pemikiran, kepercayaan dan atribusi serta harapan yang dimiliki orangtua akan apa yang “normal” dalam mengasuh anak dan bagaimana terdapat kurangnya kontrol dan keraguan terhadap harapan tersebut.
Deater-Deckard (2004) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “parenting stress” tentang teori PCR.
Teori PCR merupakan salah satu teori yang paling banyak diuji terkait stres pengasuhan mengemukakan tiga komponen terpisah, yaitu Parent (P = aspek di mana munculnya stres pengasuhan berasal dari dalam orangtua).
Child (C = aspek di mana munculnya stres pengasuhan berasal dari perilaku anak). Dan Parent-Child Relationship (R = aspek di mana munculnya stres pengasuhan berasal dari hubungan antara orangtua dan anak).
Lewat teori PCR, orangtua dapat memahami dari mana sumber stres datang ketika sedang mengasuh anak.
Memahami alur munculnya stres dan memahami gangguan yang anak miliki dapat membantu orangtua untuk lebih menumbuhkan empati dan lebih menerima kondisi anak sehingga dapat menurunkan stres yang dirasa.
Kemudian terdapat juga teori daily hassles yang menjelaskan bahwa orangtua harus memiliki kemampuan untuk mengatasi stres sehari-hari dalam proses membesarkan anak.
Adaptasi merupakan salah satu fungsi penting yang orangtua harus miliki dalam mengasuh anak. Orangtua dengan kemampuan adaptasi yang baik didefinisikan sebagai orangtua yang sukses.
Menurut Deater-Deckerd dalam bukunya, stres pengasuhan mungkin dianggap orangtua sebagai stres minor harian dan kemudian tidak dicari solusinya dengan baik.
Padahal, stres pengasuhan yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan stres akut dan kronis yang pada akhirnya dapat menganggu fungsionalitas individu.
Hal lain yang juga penting adalah, stres pengasuhan yang tidak ditangani, dapat membuat perilaku orangtua memburuk ke anak.
Orangtua dapat melakukan pola asuh yang salah seperti menggunakan kekerasan fisik atau verbal, perilaku menghindar dari kewajiban merawat anak atau menjadi pilih kasih antara anak yang memiliki ADHD dengan anak yang lain.
*Mandy Ramadhanty Khaerunissa, S.Psi, Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
*Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara