BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan STPI

Membongkar Deretan Mitos TBC serta Faktanya biar Tidak Salah Kaprah Lagi

Kompas.com - 24/03/2022, 10:00 WIB
Hotria Mariana,
Aditya Mulyawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, Indonesia harus berjibaku menangani kasus tuberkulosis (TBC). Pasalnya, selain menular, penyakit ini juga sarat akan mitos-mitos yang tidak terbukti kebenarannya.

Nahasnya, disinformasi tersebut mengakar kuat di masyarakat sehingga memunculkan stigma tertentu bagi pasien TBC. Alhasil, tak sedikit dari mereka yang ragu untuk menjalani pengobatan.

Di sisi lain, pasien suspek yang sadar mengalami gejala TBC enggan melakukan pemeriksaan lebih lanjut karena takut dicap buruk oleh lingkungan.

Berdasarkan informasi dari Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), TBC paru ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.

Gejala utama tersebut biasanya akan diikuti batuk berdahak disertai darah, batuk berdarah, sesak napas, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, serta meriang atau demam selama lebih dari 1 bulan.

Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2021, Indonesia menduduki peringkat ke-3 dari 30 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia.

Mengenai prevalensi, data TB Indonesia menunjukkan, jumlah kasus TBC di Tanah Air hingga Oktober 2021 mencapai 824.000 orang dengan angka kematian sebanyak 13.110 jiwa. Dari angka tersebut, baru 67 persen yang ditemukan dan diobati.

Dengan kondisi seperti itu ditambah banyaknya mitos seputar TBC yang beredar, tak heran jika pengendalian penyakit tersebut masih menemui kendala.

Lantas, apa saja mitos soal TBC yang beredar di masyarakat? Berikut Kompas.com rangkumkan bersama fakta yang diperoleh dari berbagai sumber.

Baca juga: Ketahui Seluk-beluk TBC untuk Setop Penularannya di Indonesia

Penyakit keturunan

Salah satu mitos TBC yang masih berembus kencang hingga kini adalah TBC merupakan penyakit keturunan. Miskonsepsi ini timbul karena masalah kesehatan tersebut kerap ditemukan pada klaster rumah atau keluarga.

Faktanya, TBC merupakan penyakit menular yang disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Jadi, andaikan TBC menyebar di antara anggota keluarga, kasusnya terjadi karena mereka tertular patogen tersebut.

Penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis biasanya terjadi melalui udara lewat droplet yang dikeluarkan oleh penderita TBC saat bersin, batuk, berbicara, bernyanyi, atau tertawa.

Baca juga: 6 Ciri-ciri TBC pada Anak yang Pantang Disepelekan

Tidak bisa sembuh

Miskonsepsi selanjutnya soal TBC adalah penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Padahal, sekalipun merupakan penyakit kronis, penderitanya tetap bisa sembuh total. Dengan catatan, mereka rajin kontrol ke dokter dan tidak pernah lupa minum obat TBC.

Mengutip laman WebMD, pengobatan pasien TBC umumnya dilakukan selama minimal 6 bulan dengan memberikan obat antibakteri. Hanya saja, jenis dan dosisnya diberikan sesuai skala infeksi.

Pada kasus lebih berat, yakni pasien TBC yang mengalami resistensi obat, regimen yang diberikan dokter otomatis berbeda. Dosis obat untuk mereka lebih tinggi, dengan durasi pengobatan lebih lama. Bahkan, bisa mencapai 30 bulan.

Baca juga: Ada 5.200 Kasus TBC di Jaksel sejak Awal Januari-Maret, Semua Pasien Masih dalam Pengobatan

Penyakit orang miskin

Salah besar bila menganggap TBC adalah penyakit orang miskin. Pasalnya, WHO menyatakan bahwa TBC terjadi di seluruh negara di dunia dan berbagai kelompok masyarakat.

Pada 2020, badan tersebut memperkirakan sebanyak 10 juta orang mengalami TBC di seluruh dunia. Angka ini terdiri dari 5,6 juta pria, 3,3 juta wanita, dan 1,1 juta anak-anak.

Di Indonesia, berdasarkan hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tidak ada perbedaan jumlah kasus TBC antara kelompok ekonomi bawah sampai menengah atas, yakni 0,4 persen.

Perbedaan hanya terjadi pada kelompok ekonomi atas, yakni 0,2 persen. Ini berarti, risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi.

Hanya menyerang paru-paru

Salah kaprah selanjutnya soal TBC adalah penyakit ini hanya menyerang paru-paru. Padahal, gangguan kesehatan tersebut juga dapat menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti jantung, ginjal, tulang belakang, dan sistem saraf.

Jika bakteri Mycobacterium tuberculosis sampai ke otak, penderita TBC bisa mengalami meningitis. Risiko komplikasi yang mungkin dialami di antaranya kejang, kehilangan pendengaran, gangguan penglihatan, kerusakan otak, stroke, dan kematian.

Baca juga: TBC Masih Jadi Ancaman di Indonesia, STPI Selenggarakan Kampanye Digital #141CekTBC untuk Edukasi Masyarakat

Perbanyak edukasi terkait TBC

Keberadaan mitos-mitos di atas menjadi salah satu kendala dalam mengentaskan kasus TBC di Indonesia. Karena itu, edukasi terkait penyakit ini perlu ditingkatkan.

Ada banyak sarana yang bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mendapatkan informasi komprehensif dan faktual seputar TBC. Salah satunya, lewat situs web https://141.stoptbindonesia.org.

Sebagai informasi, laman tersebut merupakan bagian dari kampanye komunikasi digital #141CekTBC yang diinisiasi Stop TB Partnership Indonesia (STPI). Kegiatan ini dibentuk sebagai upaya dalam mendukung program Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSSTBC) milik Kemenkes.

Tak hanya menyajikan informasi seputar TBC, laman https://141.stoptbindonesia.org juga menyediakan Chatbot 141CekTBC. Fitur ini dapat dimanfaatkan untuk mencari tahu lokasi fasilitas kesehatan (faskes) terdekat yang melayani pemeriksaan terkait penyakit tersebut.

Masyarakat pun dapat terhubung secara mudah dengan dokter pada aplikasi Halodoc atau komunitas TBC lewat fitur chatbot itu.

Sebagai informasi, selain lewat situs web itu, Chatbot 141CekTBC juga bisa diakses melalui WhatsApp di nomor +628119961141.

Baca juga: Dokter Ingatkan Masyarakat untuk Waspadai TBC Laten yang Tak Bergejala

Fitur bermanfaat lain yang bisa ditemukan pada situs web https://141.stoptbindonesia.org adalah Pengingat 141CekTBC.

Sesuai namanya, fitur tersebut membantu masyarakat dalam menandai durasi gejala TBC yang dialami. Contohnya, batuk. Jika kondisi ini masih berlangsung hingga hari ke-14, bakal ada pengingat untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

Kampanye #141CekTBC diharapkan dapat membantu penanganan TBC di Indonesia. Dengan begitu, taraf hidup masyarakat Indonesia bisa lebih baik ketimbang sebelumnya.

Perlu diingat sekali lagi bahwa TBC bisa sembuh total. Dengan catatan, pasien melakukan semua arahan dokter, mulai dari rajin minum obat hingga rutin kontrol ke faskes.

Informasi lebih lanjut mengenai kampanye #141CekTBC juga bisa didapatkan melalui akun Instagram, Twitter, dan Facebook Stop TB Partnership Indonesia.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau