SAYA merancang kalimat pembuka di tulisan ini bersamaan dengan adanya kabar penambahan satu kasus lagi angka kematian ibu (AKI) di sini.
AKI merupakan salah satu indikator untuk menilai baik buruknya kinerja pelayanan kesehatan. Dan juga menjadi tolok ukur raport kinerja pemerintah daerah melalui indeks pembangunan manusia (IPM).
Semakin tinggi AKI berarti IPM semakin rendah dan ini bisa jadi ada yang ‘keliru’ di sistem pelayanan kesehatan. Pada tingkat primer utamanya.
Angka kematian ibu di Indonesia memang masih sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2021 ada 305 kematian ibu per 100.000 penduduk.
Angka itu jauh melampaui target, yaitu di kisaran 183. Paling tinggi di antara negara-negara ASEAN.
Menurut hasil pengamatan UNFPA (United nations Fund for population activities), lembaga pengamat kesehatan independen di bawah naungan PBB, tidak ada korelasi positif antara tingginya kunjungan ibu hamil ke pusat pelayanan kesehatan dengan tingginya AKI.
Jadi biarpun angka kunjungan ibu hamil ke pelayanan kesehatan tingkat primer cukup tinggi, mencapai angka 90 persen (data BKKBN 2021), toh AKI-nya tetap tinggi juga. Ini berbeda dengan negara-negara lain yang menunjukan data sebaliknya.
Kenapa bisa seperti itu?
Secara umum pelayanan kesehatan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pelayanan kesehatan primer (puskesmas, dokter praktek mandiri/DPM dan klinik) dan sekunder/rujukan, yaitu rumah sakit.
Peran keduanya sebenarnya cukup berbeda. Pelayanan kesehatan primer selain memberikan tindakan pengobatan kuratif tingkat dasar, semestinya mengutamakan praktik kedokteran komunitas, dengan memberikan juga pelayanan promotif dan preventif.
Sedangkan RS berorientasi pada pelayanan kuratif secara paripurna berdasarkan kelasnya.
Namun praktik di lapangan, pelayanan kesehatan primer yang komprehensif, hanya dijalankan oleh Puskesmas dan beberapa DPM/klinik yang bekerja sama dengan BPJS. Pelayanan mengacu pada praktik kedokteran komunitas/dokter keluarga.
Kedokteran komunitas adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan melakukan kajian terkait masalah kesehatan yang dialami komunitasnya.
Salah satu syaratnya harus punya wilayah atau komunitas yang dibina. Puskesmas mempunyai wilayah kerja.
Begitu juga DPM dan klinik yang bekerja sama dengan BPJS, mereka mempunyai sejumlah orang untuk dijaga derajat kesehatannya.
Saya adalah seorang dokter yang mengelola dua praktik mandiri. Satu tempat praktik saya sudah bekerja sama dengan BPJS, sedangkan lainnya belum.
Memang terasa sekali perbedaannya. Tempat praktik saya yang belum bekerjasama dengan BPJS, seperti halnya praktik dokter kebanyakan. Hanya melayani pasien yang datang.
Kemudian diberikan pengobatan disertai edukasi hidup sehat, membayar sejumlah uang, kemudian pasien pulang. Terkesan tidak ada tanggung jawab selanjutnya, kecuali bila pasien datang kembali.
Berbeda dengan tempat praktik saya yang sudah bekerjasama dengan BPJS. Saya mempunyai sekelompok komunitas/masyarakat untuk dipantau betul derajat kesehatannya.
Komunitas ini juga tidak perlu membayar sejumlah uang bila ada yang sakit kemudian datang berobat. Sistem telah membayarkan sejumlah uang terlebih dahulu, yang disebut sebagai kapitasi.
Saat ini nilai kapitasi per orang yang dibayarkan adalah delapan ribu rupiah. Misalnya, komunitas yang harus dibina oleh seorang dokter praktik sejumlah 1.000 orang, maka dokter berhak mendapatkan uang Rp 8 juta setiap bulan. Mau komunitasnya itu sehat atau sakit.
Yang terjadi? Seorang dokter di posisi ini akan berjuang mati-matian agar komunitasnya stabil, tidak ada yang sakit. Supaya tidak menggerus uang kapitasi yang telah diterima.
Apa yang dilakukan? Tanpa diminta pun dokter tersebut akan melakukan upaya preventif dan promotif dengan maksimal pada komunitasnya.
Sistem ini sering disebut sebagai paradigma sehat, di mana layanan kesehatan memang berorientasi pada status kehatan perorangan ataupun di tingkat masyarakat.
Ini sejalan dengan cita-cita ketika jaminan layanan kesehatan nasional (JKN) diluncurkan di tahun 2014.
Role model pelayanan primer dengan kosep paradigma sehat selama ini baru dilaksanakan oleh Puskesmas. Pertanyaannya mampukah puskesmas melakukannya sendirian?
Sebagai gambaran saja, saya juga adalah seorang kepala puskesmas dengan wilayah kerja cukup luas yang meliputi 7 desa. Jumlah penduduknya sekitar 44.000 jiwa.
Dengan sumber daya manusia hanya tiga orang dokter umum, termasuk saya. Ditambah tujuh tenaga bidan desa dan delapan bidan puskesmas.
Untuk program pengendalian AKI saja yang diantaranya deteksi dini kehamilan berisiko tinggi, sering keteteran.
Masih saja ada pasien bisa lolos dari deteksi dini kehamilan bermasalah. Tahu-tahu ibu hamil datang ke puskesmas sudah siap melahirkan, padahal tekanan darahnya masih sangat tinggi, misalnya.
Ini hal yang bisa dicegah kalau dari awal ibu hamil ini dimonitor secara ketat untuk mengkonsumsi obat antihipertensi.
Tapi kenyataanya, puskesmas dibantu satu bidan desa tiap desa pun masih kurang sekali untuk upaya tersebut.
Itu baru permasalahan AKI. Padahal tugas puskesmas bukan cuma itu, stunting, TBC, penyakit tidak menular, penyakit berbasis lingkungan, dan masih banyak lagi.
Beberapa studi dan diskusi kasus pun menyatakan bahwa penyebab AKI tertinggi itu bukan kemalasan ibu hamil datang ke tempat pelayanan kesehatan.
Di daerah saya bukan juga karena akses ke pelayanan kesehatan sulit terjangkau, bukan itu. Tapi lebih banyak terjadi akibat keterlambatan deteksi dini kehamilan yang bermasalah. Yang merupakan tugas pelayanan kesehatan tingkat primer.
Bagimana deteksi dini bisa tajam, kalau hanya diserahkan ke puskesmas kan?
Saya hanya membayangkan suatu situasi di mana beban puskesmas akan sedikit berkurang apabila DPM/klinik di wilayahnya pun mau menjalankan upaya pelayanan primer berorientasi kedokteran komunitas.
Tapi kenyataannya dari lima DPM di wilayah kerja saya, baru ada satu DPM yang bekerjasama dengan BPJS.
Dinas Kesehatan sebenarnya sudah membuat maping kebutuhan fasilitas kesehatan berbasis kedokteran komunitas di setiap wilayah. Tentu saja harus segera terpenuhi.
Akan tetapi aturan tetaplah sebatas aturan kalau pemenuhan target ini tidak dilakukan dengan serius.
Ada banyak negara yang menerapkan konsep kedokteran komunitas/dokter keluarga di sistem pelayanan kesehatan tingkat primernya. Di antaranya untuk negara anggota ASEAN adalah Thailand, Vietnam dan Philipina. Di atas kertas upaya pengendalian AKI mereka jauh lebih baik dibandingkan negara kita.
Beberapa kali mengikuti rapat evaluasi dengan dinas kesehatan tingkat kabupaten, provinsi bahkan Kemenkes, selalu ditekankan bahwa kolaborasi yang baik antara puskesmas dengan jejaring dalam hal ini DPM dan klinik, adalah kunci sukses progran penaggulangan penyakit apapun.
Permasalahannya bagaimana bisa berjalan baik kalau sistem tidak mendukung. DPM dan klinik kebanyakan ‘dibiarkan’ asyik dengan hanya upaya kuratif semata.
Kalau betul pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan berupaya serius dalam penanggulangan berbagai macam penyakit, semestinya regulasi aturan pelayanan kesehatan tingkat pimer berbasis kedokteran komunitas lebih diperketat lagi.
Lebih banyak lagi DPM/klinik yang didorong untuk menjalin kerjasama dengan BPJS. Namun di sisi lain tersedia juga sistem reward untuk mereka yang mau dan bersedia menjalankan regulasi ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.