Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaya Parenting Pengaruhi Risiko Obesitas Anak

Kompas.com - 10/03/2023, 06:36 WIB
Lusia Kus Anna

Editor


KOMPAS.com - Di sebagian masyarakat ada anggapan bahwa anak yang gemuk gemuk dan berpipi tembam dianggap sebagai simbol kemakmuran orangtua dan cukup mendapat makanan.

Anggapan demikian cenderung membuat orangtua berusaha menggemukkan anaknya dan tanpa sadar menerapkan gaya parenting yang kurang tepat dengan pola makan yang kurang sehat.

Penting bagi orang tua untuk menerapkan kebiasaan makan yang baik sejak dini. idealnya, ini dimulai sejak anak melewati masa ASI eksklusif dan mulai mendapat MPASI (makanan pendamping ASI) di usia 6 bulan.

“Asupan makanan tambahan setelah ASI akan menentukan pertumbuhan anak,” ujar dokter spesialis anak konsultan endokrinologi, dr. Frida Soesanti Sp.A(K).

Ia mengatakan, berat badan berlebihan atau obesitas menyimpan bahaya kesehatan.

Baca juga: 3 Komplikasi Obesitas pada Anak yang Mengancam Jiwa

“Pasti akan menimbulkan komplikasi. Misalnya diabetes, kolesterol tinggi, hingga perlemakan hati dini. Dalam jangka panjang, akan menyebabkan kegagalan hati,” tutur dr. Frida.

Orantua harus terus memantau berat badan dan tumbuh kembang anak sejak bayi, dengan kurva pertumbuhan. Melalui kurva ini, akan terlihat bagaimana penambahan berat badan bayi/anak; apakah sesuai dengan tinggi badan maupun usianya.

Waspada bila berat badan si kecil menurut tinggi badannya +2 SD (standar deviasi), yang menunjukkan bahwa ia sudah mengalami kegemukan. Bila angkanya mencapai +3 SD, maka si kecil tergolong obesitas.

Menurunkan berat badan anak

Ditekankan oleh dr. Frida, menurunkan berat badan anak yang obes bukan dengan cara diet ketat dan melarang anak makan makanan tertentu.

“Apalagi sampai mengurangi jumlah kalori secara drastis, karena akan membuat anak craving atau kelaparan. Akhirnya, terjadi efek yoyo,” jelasnya.

Yang dibutuhkan adalah mengembalikan pola makan sesuai kebutuhan kalori yang normal. Pertama-tama, buatlah jadwal makan teratur. Terdiri dari tiga kali makan besar (sarapan, makan siang, makan malam), serta dua kali selingan.

“Paling bagus adalah menu yang berwarna-warni dalam satu piring. Kalau berwarna-warni pasti sehat karena ada warna sayuran,” papar dr. Frida.

Untuk membentuk pola makan yang baik, perlu kerjasama seluruh anggota keluarga di rumah. “Berikan contoh langsung karena anak akan meniru apa yang dimakan anggota keluarga lain,” tegasnya.

Baca juga: Bayi Obesitas di Bekasi Ditangani Lebih dari 10 Dokter

Sulitnya mengajarkan pola makan yang sehat pada balita sering dihadapi orangtua. Anak kerap pilih-pilih makanan, tidak mau makan, atau makan dengan lambat.

Biasanya juga terjadi emotional feeding complex, dimana anak menunjukkan ketidaksukaan terhadap makanan yang diberikan ibunya atau pengasuhnya,” ungkap psikolog Irma Gustiani, M.Psi, Psikolog, PGCertPT.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau