AKHIR April 2023, terjadi penganiayaan terhadap dokter Puskesmas di Lampung Barat. Pasalnya pasien kesal karena reaksi obat yang diberikan dokter belum juga bekerja.
Mengingat masih dalam tahap observasi, dokter menyarankan jika pasien tidak dapat menahan rasa sakit, maka dapat memilih ke IGD rumah sakit terdekat (Kompas.com, 25 April 2023).
Peristiwa kemarahan pasien juga terjadi sebelumnya di berbagai wilayah di Indonesia. Mengapa pasien atau keluarganya marah?
Alasannya beragam, di antaranya keyakinan atas kelalaian medis; kesalahan pemberian obat; merasa mendapatkan pelayanan buruk; tidak puas dengan hasil pengobatan yang mereka terima termasuk efek samping yang dirasakan setelah pengobatan; menganggap harga pelayanan kesehatan terlalu mahal dan tidak sesuai dengan kualitas pelayanan yang diberikan; kurangnya informasi yang diberikan, dll.
Profesi dokter atau tenaga kesehatan yang mengalami kekerasan dari pasien, sangat tidak menyenangkan.
Di sisi lain, pasien dan keluarganya merasa memiliki alasan untuk bersikap kasar karena tindakan tenaga kesehatan tersebut.
Dari berbagai sudut pandang, perilaku kekerasan sangat tidak dibenarkan. lalu, bagaimana hak – kewajiban pasien dan hak – kewajiban dokter diatur dalam regulasi di Indonesia?
Sejumlah regulasi mengatur hak dan kewajiban pasien, yakni Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004; Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Peraturan Menteri Kesehatan No. 43 Tahun 2013 tentang Hak Pasien; Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek; Keputusan Menteri Kesehatan No. 1438/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Hak Pasien Rumah Sakit.
Regulasi tersebut mengatur hak atas informasi, hak atas privasi, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak pengobatan, hak untuk mengajukan keluhan, dan hak atas pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Kemudian hak memperoleh informasi yang jelas mengenai obat; hak memilih obat yang sesuai dengan kondisi kesehatannya; hak memilih dokter yang akan memberikan perawatan, serta mendapatkan pelayanan yang bermutu dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Selain itu, hak untuk mengajukan keluhan jika merasa tidak puas dengan pelayanan yang diterima, serta hak untuk mendapatkan tindakan yang adil dan cepat atas keluhan tersebut.
Di samping hak, pasien juga memiliki kewajiban yang perlu dilakukan, yaitu memberikan informasi yang jujur dan lengkap tentang kondisi kesehatannya; mengikuti instruksi dan perawatan yang telah diresepkan oleh dokter atau tenaga medis lainnya.
Kemudian membayar biaya perawatan dan pengobatan sesuai ketentuan yang telah disepakati; menghargai hak privasi dan kerahasiaan informasi kesehatannya.
Selain itu, bertanya pada dokter atau tenaga medis lainnya jika ada hal yang tidak jelas atau ingin diketahui lebih lanjut tentang kondisi kesehatan dirinya serta prosedur pengobatan yang akan dilakukan; menunjukkan sikap sopan dan hormat pada dokter, tenaga medis, dan pasien lainnya.
Sebagaimana pasien, dokter pun memiliki hak dan kewajiban dalam menjalankan profesinya. Hak dan kewajiban tersebut ada di tingkat nasional maupun internasional, di antaranya: Kode Etik Kedokteran Indonesia yang memberikan panduan etika dan moral yang harus diikuti oleh dokter di Indonesia; Undang-Undang Kesehatan; Peraturan Menteri Kesehatan; Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Kemudian Deklarasi Jenewa yang dilakukan oleh World Medical Association Declaration of Geneva; Konvensi Hak Asasi Manusia.
Intinya regulasi tersebut mengatur hubungan antara dokter dan pasien, kerahasiaan informasi kesehatan pasien, serta tindakan medis yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh dokter; izin praktik dokter, serta sanksi yang diberikan kepada dokter yang melanggar regulasi yang berlaku, dll.
Dokter juga memiliki hak untuk memperoleh izin praktik; memberikan tindakan medis yang diperlukan dan sesuai dengan standar medis yang berlaku untuk menyembuhkan, mencegah, atau mengurangi penderitaan pasien.
Kemudian mendapatkan informasi kesehatan pasien; menjaga kerahasiaan informasi kesehatan pasien; mendapatkan ganti rugi jika terjadi kerusakan pada fasilitas atau peralatan medis yang digunakan dalam praktik kedokterannya, dll.
Hak dan kewajiban baik dari tenaga medis maupun pasien dapat memungkinkan hubungan kemitraan yang terjaga; saling menghormati; saling mempercayai; memastikan bahwa pengobatan dan perawatan medis dilakukan dengan standar yang tinggi dan professional.
Kemudian melindungi hak dan kepentingan pasien dan dokter; mendorong transparansi dan akuntabilitas; serta secara keseluruhan diharapkan dapat meningkatkan kualitas praktik kedokteran.
Dalam buku Komunikasi Kedokteran (Ganiem, 2018), dijelaskan pandangan Kaba & Sooriakumaran tentang dinamisnya hubungan dokter-pasien yang dipengaruhi kondisi medis dan konteks sosial seperti keadaan politik, ekonomi dan budaya, selain kemampuan dokter serta suasana ilmiah kedokteran.
Terdapat lima periodisasi yang diawali sejak jaman Mesir Kuno sekitar tahun 4000-1000 sebelum Masehi di mana hubungan dokter-pasien bagaikan pendeta dengan pemohon yang berdoa, dan banyak pendekatan magis dan teologis.
Kedua, masa Pencerahan Yunani sekitar 600-100 sebelum Masehi, di mana saat itu, sistem pengobatan di Yunani berdasarkan pendekatan empiris rasional dan diperkuat dengan pengalaman praktis uji coba.
Mereka tidak menggunakan pertimbangan magis dan agama atas masalah disfungsi tubuh. Model hubungan dokter – pasien cenderung pada persamaan bentuknya bimbingan–kerjasama.
Saat inilah muncul Sumpah Hipokrates yang hingga kini poin-poin utamanya masih menjadi landasan kode etik dokter.
Ketiga, masa Eropa Pertengahan dan Inquisisi (sekitar 1200 – 1600 setelah Masehi), dengan runtuhnya kerajaan Roma, dan berakhirnya perang Salib, terjadi pemulihan pada kepercayaan agama dan dunia supra natural.
Saat itu terjadi kemerosotan, pelemahan dan penurunan hubungan dokter-pasien di seluruh Eropa pada abad tersebut.
Dokter memiliki kekuatan sihir, berada di peringkat tinggi dan mulia, sementara masyarakat atau pasien dianggap bayi yang tak berdaya. Karena itu hubungan yang merefleksikan hal ini adalah model aktif dan pasif.
Keempat, masa Revolusi Perancis, yaitu akhir abad ke 18 di mana orang-orang saat itu mengejar kebebasan, persamaan, martabat dan bukti ilmiah empiris. Hubungan dokter-pasien yang sebelumnya model Aktif-Pasif, menjadi model Bimbingan-Kerjasama.
Kelima, periode sekitar abad ke 18 hingga kini yang memang masih mengalami fluktuasi dalam hubungan dokter-pasien, yaitu seperti yang disampaikan oleh Szasz dan Hollender (1956), hubungan dokter pasien dapat dikategorikan dalam tiga model dasar, yaitu Aktif – pasif atau paternalistik; bimbingan – Kerjasama; dan saling berpartisipasi.
Pendekatan hubungan dokter pasien juga dapat digambarkan pada kondisi berpusat pada dokter, berpusat pada pasien atau Kerjasama.
Di Indonesia, masa prasejarah hingga masa sejarah sebelum kehadiran penjajah, masyarakat yang cenderung animisme dan dinamisme sangat mungkin penyembuh dianggap sebagai dewa atau orang suci.
Pada masa Penjajahan, struktur sosial diatur sesuai kebutuhan bangsa penjajah yang menciptakan ketertundukan dan kepatuhan masyarakat pada penjajah.
Saat itu budaya pada penyembuhan tradisional yang berjalan di masyarakat masih sangat kuat, dan hubungan antara dokter/penyembuh-pasien adalah Aktif-Pasif.
Setelah kemerdekaan hingga Orde Baru, hubungan dokter masih cenderung Aktif Pasif, meski di beberapa wilayah seperti perkotaan, hubungan tersebut adalah ‘Bimbingan-Kerjasama’.
Perubahan signifikan adalah masa-masa Reformasi (1998) hingga sekarang. Euphoria demokrasi, dan semangat egaliterian, kebebasan, martabat dan bukti ilmiah-empiris mendesak berbagai tatanan politik di Indonesia.
Hubungan yang disosialisasikan adalah hubungan yang berimbang berupa suatu kemitraan. Sistem JKN juga memengaruhi hubungan dokter-pasien yang kian bersifat kontrakstual.
Berkembangnya teknologi informasi yang sangat pesat berimplikasi pada kemudahan akses informasi kesehatan dan telemedicine dapat memengaruhi pasien untuk berani menyampaikan argumen medis mengenai dirinya pada dokter atau bahkan menyangkal diagnosa dokter merujuk pada bacaannya dari internet.
Pemahaman atas hak dan kewajiban dokter dan pasien sangat perlu dimengerti oleh kedua belah pihak.
Keharmonisan hubungan dapat menguntungkan pasien karena pasien akan mendapatkan perawatan yang memadai, terlindungi dari praktik medis yang tidak etis, mampu mempertahankan haknya, memiliki kepercayaan bahwa dokter akan memberikan pelayanan terbaik untuk pasien, memiliki kepastian dan ketenangan.
Bagi dokter, hubungan harmonis dengan pasien akan menimbulkan kebahagiaan bekerja, perasaan telah berbuat optimal, peningkatan kualitas perawatan, mendapat reputasi positif, menghindari risiko tuntutan hukum, bahkan bagi kedua belah pihak.
Meskipun pasien dan keluarganya harus menghormati dokter yang telah membaktikan dirinya sebagai pahlawan kesehatan untuk membantu pasien, namun, saya juga meyakini bahwa dokter perlu terus mengasah keterampilan komunikasinya, sehingga niat baiknya tidak disalahartikan oleh pasien.
Balint (1964) telah mengingatkan mulianya posisi dokter dengan menyebut, ‘Dokter adalah obat. Alat pengobatan yang paling kuat adalah dokter itu sendiri’.
Pendiri RS John Hopkins, William Osler juga menyebutkan bahwa dokter yang baik akan mengatasi penyakit, sementara dokter hebat merawat pasien yang memiliki penyakit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.