UNIVERSAL Health Coverage (UHC) atau Cakupan Kesehatan Semesta berupaya mewujudkan harapan agar masyarakat Indonesia mempunyai akses ke pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif tanpa pandang bulu. Targetnya adalah setiap orang mendapatkan manfaat UHC, setiap orang terlindungi dari kedaruratan kesehatan, dan setiap orang menikmati hidup yang lebih baik dan sehat.
UHC tercapai jika setiap orang sudah memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu tanpa terkendala biaya. Kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap kesehatan juga meningkat.
Baca juga: 2,58 Juta Warga Telah Miliki BPJS, Pemkab Malang Raih Penghargaan UHC 2023
Pengertian akses sangat luas yaitu terkait jarak, kemudahan komunikasi, mendapatkan informasi pelayanan, berhubungan dengan tenaga kesehatan, mendapatkan kemandirian dan perlindungan finansial dalam masalah kesehatan.
Tanggung jawab pemerintah (Kemenkes) adalah menetapkan kebijakan dan strategi dalam mencapai UHC. Tantangan yang terjadi dan sering disebut menjadi kelemahan, yaitu kelengkapan sarana prasarana fasyankes, ketersediaan obat dan alat kesehatan, distribusi tenaga kesehatan, sistem informasi, ketersediaan anggaran pembangunan kesehatan, kenaikan iuran asuransi, serta regulasi yang diperlukan dalam mendorong terwujudnya UHC.
Ketimpangan terjadi di Indonesia, di mana di Indonesia bagian barat UHC berjalan lebih cepat dan dinamis dibanding wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Di bagian tengah dan timur Indonesia masih banyak warga tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang bermutu dan standar. Dalam menghadapi kedaruratan kesehatan, keadaaan di kedua wilayah tersebut lebih berat dan penuh tantangan.
Jumlah kepesertaan BPJS Kesehatan telah mencapai 90 persen dari populasi. Target UHC dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS) pada tahun 2024 adalah sebesar 98 persen penduduk. Tersedia sedikit waktu bagi Indonesia untuk memenuhi target tersebut.
Mengupayakan UHC terwujud berarti mewujudkan perlindungan finansial bagi setiap orang jika jatuh sakit dan memerlukan perawatan atau pengobatan. BPJS kesehatan menyampaikan, jumlah peserta telah mencapai 248,77 juta penduduk Indonesia, yang berarti 90,73 persen dari total penduduk 274,20 juta (Desember 2022).
Sesungguhnya, pencapaian itu tidak mengherankan. Berbagai regulasi dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah mendorong percepatan jumlah peserta BPJS Kesehatan.
WHO, yang beranggotakan 194 negara, menegaskan dan mengingatkan bahwa UHC tidak hanya cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan. UHC merupakan target lebih luas dan tidak mudah. Di sinilah kita mendapati tantangan tidak mudah.
Berbagai indikator esensial telah ditetapkan sebagai jenis layanan dasar dalam UHC di Indonesia yang selama ini belum tuntas ditanggulangi dan sering menyedihkan. Terdapat 16 jenis layanan kesehatan dasar sebagai indikator UHC dalam 4 kategori.
Pertama, kesehatan ibu dan anak (KIA) yang meliputi keluarga berencana (KB), ante natal care (ANC), imunisasi, dan pneumonia. Kedua, penyakit menular yaitu TBC, HIV, imunisasi dan sanitasi. Ketiga, penyakit tidak menular yaitu tekanan darah, glukosa darah, kanker servik, tembakau. Keempat, kapasitas dan akses meliputi akses rumah sakit, tenaga kesehatan, farmasi, dan regulasi internasional.
Baca juga: Mengapa Harus Ada Jaminan Kesehatan Semesta pada 2019?
WHO telah menyatakan UHC bukan pengobatan gratis, UHC bukan semata pembiayaan kesehatan. UHC itu mencakup pengelolaan semua komponen sistem kesehatan. UHC bukan hanya kesehatan perorangan tetapi juga kesehatan masyarakat. UHC bukan melulu peningkatan kesehatan tapi juga terpenuhinya ekuiti, prioritas pembangunan serta inklusi dan kohesi sosial.
Masih ditemukannya akses transportasi yang sulit dan jauh pada saat persalinan ke fasyankes (puskesmas, rumah sakit) menunjukkan tantangan nyata yang tidak ringan dalam mengupayakan UHC di Tanah Air. Tidak seharusnya ibu hamil kesulitan akses menuju fasyankes, terlebih di Indonesia dengan kebijakan persalinan harus di fasyankes dengan tenaga kesehatan yang kompeten.
Namun hal tersebut terjadi dan beresiko kematian terhadap kesehatan ibu dan bayi dalam kandungan.
Fenomena pengobatan tradional oleh Ida Dayak menunjukkan pada kita bahwa akses terhadap pembangunan kesehatan belum dapat dirasakan masyarakat seluruhnya. Pelayanan continuum of care dan paripurna masih sebatas wacana dan pernyataan pengambil kebijakan.