Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
CITA RASA NUSANTARA

Tak Perlu Khawatir Konsumsi Mi Instan asalkan Ikuti Aturan Berikut Ini

Kompas.com - 12/07/2023, 10:33 WIB
Hisnudita Hagiworo,
Aditya Mulyawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.comMi instan menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia. Rasanya yang pas di lidah, ditambah cara penyajian yang mudah, membuat mi instan menjadi pilihan banyak orang di kala lapar melanda.

Meski begitu, mi instan juga kerap dituding menjadi penyebab sejumlah penyakit. Hal ini disebabkan oleh kandungan garam, gula, dan lemak pada mi instan.

Jika dikonsumsi secara berlebih, ketiga kandungan tersebut memang dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes, darah tinggi, dan penyakit liver.

Terlebih, belum lama ini, Badan Kesehatan Taiwan juga mengumumkan temuan kandungan zat karsinogenik atau pemicu kanker, yakni etilena oksida, pada dua mi instan asal Indonesia dan Malaysia.

Menurut otoritas kesehatan Taiwan tersebut, etilena oksida dapat memicu penyakit limfoma dan leukemia. Kabar ini menimbulkan kekhawatiran bagi penggemar mi instan.

Meski begitu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia menjamin keamanan mi instan yang beredar di Indonesia. Sebab, sebelum beredar, mi instan telah lulus sertifikasi, termasuk batas maksimal kandungan etilena oksida.

Hanya saja, sebagai konsumen yang cerdas, Anda juga perlu membatasi diri dalam mengonsumsi mi instan.

Diberitakan Kompas.com, Minggu (12/4/2020), Ahli Gizi dari Mount Elizabeth Hospital Seow Vi Vien menyarankan jumlah aman untuk mengonsumsi mi instan adalah satu sampai dua kali dalam seminggu.

Vien juga mengingatkan konsumen untuk membaca label makanan pada kemasan mi instan sebelum mengonsumsinya, baik terkait pemrosesan maupun kandungan gizi mi instan.

Pilih mi instan yang dioven atau digoreng?

Sebagai informasi, untuk membuat mi instan lebih awet disimpan, produsen harus mengurangi kadar air. Terdapat dua teknik pengurangan air pada mi instan di Indonesia, yakni menggunakan teknik digoreng dan dioven.

Dosen Departemen Ilmu Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ing Aziz Boing Sitanggan, STP, MSc menjelaskan dua perbedaan metode tersebut kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (5/5/2023).

Ia memaparkan, pengolahan mi instan dengan cara digoreng memerlukan minyak. Mi instan juga perlu dipanaskan pada suhu tinggi.

“Penggorengan menggunakan minyak di suhu tinggi dan digunakan berkali-kali akan mengalami kerusakan oksidasi,” paparnya.

Kerusakan oksidasi tersebut, lanjut Azis, menghasilkan senyawa alkanal, alkanol, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan rasa atau aroma tengik ketika mi instan kedaluwarsa.

Saat terjadi reaksi polimerisasi, senyawa-senyawa tersebut dapat bersifat karsinogen bagi tubuh. Karsinogenik sendiri punya efek yang berpeluang menjadi toksik atau racun bagi sel tubuh.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau