Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Syafbrani ZA
Penulis dan Konsultan Publikasi

Penulis Buku diantaranya UN, The End..., Suara Guru Suara Tuhan, Bergiat pada Education Analyst Society (EDANS)

Mengapa Harus Kartu Anak Sehat?

Kompas.com - 25/10/2023, 14:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEPERTINYA program kartu-kartu masih menjadi salah satu jurus utama dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini.

Bisa jadi, dengan menghadirkan kartu sebagai identitas personal, maka segala persoalan bisa terdata sehingga penyelesaiannya lebih efektif.

Tidak terjadi tumpang tindih pendataan, fasilitas bantuan bisa tersalurkan tepat sasaran dan bisa memangkas birokrasi yang selama ini selalu memakan waktu cukup panjang dan melelahkan.

Dengan adanya kartu, semuanya menjadi sakti. Cukup tunjukkan kartu, selesai persoalan. Mungkin begitu harapan yang ingin dihadirkan.

Maka tidak salah jika pada akhirnya, kampanye-kampanye pada pilkada atau pilpres selalu disisipi dengan janji-janji menghadirkan berbagai ‘kartu sakti.’

Begitu pula dalam janji-janji yang disampaikan bakal calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebelum mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu (25/10/2023).

Salah satu program yang disampaikan adalah Kartu Anak Sehat.

Mendengar istilah Kartu Anak Sehat, langsung terlintas dalam pikiran penulis (dan mungkin kita semua) pertanyaan sederhana, apakah persoalan kesehatan anak selama ini karena tiadanya kehadiran kartu?

Seperti yang kita dengar bersama, pada pidato penyampaian program pasangan kandidat itu, salah satu narasi yang disandingkan dengan Kartu Anak Sehat adalah untuk pencegahan stunting.

Permasalahan stunting memang masih menghantui negara yang sudah merdeka hampir delapan dasawarsa ini. Bahkan, target penurunan stunting masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024. Pada 2024 ditargetkan angka stunting bisa mencapai 14 persen.

Melihat tren penurunan stunting selama ini, agak mustahil target pada RPJMN akan tercapai.

Angka stunting di Indonesia tahun 2022 masih berada pada 21,6 persen. Meskipun sedikit lebih baik dari tahun 2021, yaitu 24,4 persen, tetapi persentase tersebut masih tergolong tinggi. Sesuai standar WHO, tingkat prevalensi stunting harus di bawah 20 persen.

Kemustahilan itu menguat karena pesta demokrasi yang semakin dekat. Sebentar lagi kehidupan masyarakat Indonesia akan dipertontonkan episode janji-janji politik yang memukau, bahkan bisa menghipnotis diri.

Pun kalau ada bala bantuan yang datang, semuanya tidak terlepas dengan muatan politik yang berujung pada proses substitusi suara pada TPS-TPS nantinya.

Ada sekitar 30 juta penduduk yang berkategori anak usia dini. Artinya angka stunting itu masih melekat pada jutaan anak Indonesia. Bukan angka yang sedikit.

Oleh karena itu, walaupun kemudian secara statistik angka itu bisa dikejar, tetap saja usaha mencegah stunting tidak boleh berhenti.

Jika tidak ada perubahan, Pilpres 2024 akan diikuti tiga pasangan capres-cawapres. Kita yakin, ketiga pasangan calon mempunyai ikhtiar yang sama untuk anak bangsa agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan positif.

Terlepas melalui program dengan kartu atau tidak, kita berharap penanganan kesehatan anak harus dijalankan secara berkelanjutan dan menyeluruh.

Dua faktor penting yang tidak boleh dilupakan dalam usaha menciptakan anak sehat, yakni keluarga dan lingkungannya.

Bagaimana mungkin anak-anak sehat lahir, sementara mereka hidup dalam keluarga yang berkategori miskin. Tanpa perlu memperlihatkan datanya, potret kemiskinan keluarga di Indonesia sangat mudah kita temui hari ini.

Potret-potret tersebut baru sebatas definisi fisik. Belum lagi jika kita telusuri lebih jauh terkait jiwa-jiwa anak hari ini yang sangat tidak sehat akibat didera arus kehidupan yang gegap gempita, namun minus keteladanan baik.

Tanpa perlu menyajikan datanya, fakta persoalan mental dan perilaku negatif anak-anak di Indonesia sering menghiasi pemberitaan yang kita lihat.

Sementara lingkungannya, baik tempat tinggal, tempat belajar, maupun tempat bermainnya melahirkan nuansa yang membuat para orangtua cemas.

Kesimpulan singkatnya adalah usaha menghadirkan anak sehat harus sejalan dengan menghadirkan orangtua sehat, keluarga sehat, sekolah sehat, dan lingkungan yang sehat juga.

Jadi, andai memang semua persoalan bisa cepat dituntaskan dengan menghadirkan kartu-kartu, agaknya selain Kartu Anak Sehat, kita juga perlu menghadirkan kartu-kartu lainnya: Kartu Ayah Sehat, Kartu Ibu Sehat, Kartu Keluarga Sehat, Kartu Sekolah Sehat, Kartu Lingkungan Sehat, dan juga kartu-kartu lainnya yang bisa mendukung agar anak bisa lahir dan hidup selalu dalam keadaan sehat jiwa dan raga.

Atau mengapa tidak hanya dengan melahirkan satu kartu untuk menuntaskan semua persoalan itu? Kelak biaya pembuatan dan pendistribusian kartu itu bisa dialihkan untuk kesehatan anak-anak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com