"Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksial lain," bunyi Pasal 120 ayat (3).
Kemudian pada Pasal 122 ayat (1) disebutkan, pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana perkosaan.
Baca juga: Tanda-tanda Bayi Lahir Mati yang Harus Ibu Hamil Sadari
"Pengecualian persetujuan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan," demikian isi Pasal 122 ayat (2).
Selanjutnya dalam Pasal 124 ayat (1) dijelaskan, dalam hal korban tindak pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan memutuskan untuk membatalkan keinginan melakukan aborsi setelah mendapatkan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
"Anak yang dilahirkan dari ibu korban tindak pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasna seksual lain yang menyebabkan kehamilan berhak diasuh oleh ibu dan/atau keluarganya," demikian isi Pasal 124 ayat (2).
Pada Pasal 124 ayat (3) disebutkan, dalam hal ibu dan/atau keluarga tidak dapat melakukan pengasuhan, anak dapat diasuh oleh lembaga asuhan anak atau menjadi anak yang dipelihara oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Waspadai Dampak Asap Rokok Terhadap Ibu Hamil dan Janinnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.