KOMPAS.com - Setiap obat dan vaksin harus melalui serangkaian percobaan, terutama uji klinis pada manusia untuk mengetahui kemanjuran dan keamanannya, sebelum mendapat izin edar pada pasien.
Orang-orang yang rela menjadi "kelinci percobaan" untuk obat-obat atau vaksin baru tersebut mendapat bayaran yang cukup lumayan, meski mereka harus rela tertular penyakit.
Selama satu dekade terakhir Ben sudah mengikuti 15 kali uji klinis berbayar. Pria berusia 37 tahun dari Cambridge, Inggris ini menjadi bahan percobaan untuk alasan umum, yaitu uang.
"Saya baru punya anak dan biaya kesehatannya melebihi penghasilan bulanan saya. Jadi saya mengikuti uji klinis ini dengan jatah cuti tahunan untuk mendapat uang tambahan," kata Ben dalam wawancara dengan Euronews Health.
Uji klinis pertama yang ia ikuti adalah untuk obat anti-inflamasi yang dilakukan oleh Quotient Sciences, perusahaan pengembangan obat dari Inggris Raya.
"Quotient Sciences adalah tim yang hebat, mereka menjelaskan tentang percobaan yang akan dilakukan dan risikonya secara jelas. Saya mendapatkan enam suntikan selama enam hari. Masing-masing di perut dan rasanya seperti disengat lebah," kata Ben.
Baca juga: Uji Klinis Dialance, Perkeni Dorong Produk Penurun Diabetes Buatan Indonesia
Ia menghabiskan waktu 9 hari di sebuah unit dan mengatakan malah mendapatkan "pengalaman menyenangkan" dan bisa menghabiskan waktu dengan menonton film dan makan.
"Saya tidak pernah merasa kelaparan selama di sana," ujarnya.
Ben adalah salah satu dari jumlah orang yang berminat untuk mengikuti uji klinis berbayar. Di seluruh Inggris ada hampir 1,4 juta orang yang berpartisipasi pada tahun 2020 - 2021, menurut Asosiasi Industri Farmasi Inggris (ABPI). Sekitar 900.000 di antaranya mengikuti uji klinis Covid-19.
Para peserta mengatakan, selain mendapat uang, mereka juga puas karena membantu pengembangan perawatan medis yang berpotensi menyelamatkan nyawa. Rasa ketertarikan pada bidang medis terkadang juga berperan.
Bagaimana cara terlibat
Ribuan uji klinis saat ini sedang berlangsung di seluruh Eropa. Menurut Badan Obat Eropa, diperkirakan ada 2.800 uji klinis yang diotorisasi setiap tahunnya.
Sekitar 60 persen dari uji klinis itu disponsori oleh industri farmasi dan 40 persen oleh sponsor nonkomersial seperti kalangan akademisi.
Baca juga: Suntik 2 Kali Setahun Efektif Cegah Penularan HIV
Mayoritas dari percobaan itu tidak menawarkan kompensasi uang, tetapi bagi yang memberi besaran jumlahnya tergantung pada fase uji coba, termasuk level risikonya.
Menurut Badan Jaminan Kesehatan Inggris (NHS), pada fase 1 uji coba biasanya peserta dibayar paling mahal karena ini adalah percobaan pertama pada manusia, sementara fase 4 dibayar paling rendah karena terapinya sudah lulus pada tahap sebelumnya dan telah mendapat lisensi pemasaran alias sudah siap diresepkan.
Sebagai contoh London FluCamp yang dikelola perusahaan hVIVO, yang bertujuan untuk memahami virus pernapasan dan sistem imun, serta pengobatan yang paling tepat. Para partisipan di sini dibayar sekitar Rp 91 juta untuk untuk diberikan dosis kecil jenis virus dan kemudian dikarantina di sebuah fasilitas di London selama 11 hingga 14 hari, dengan pemeriksaan akhir dilakukan sebulan setelah uji coba berakhir.
"Peserta harus mengisi formulir online, kami kemudian memeriksa kriteria kelayakan dan jika disetujui mereka akan diundang untuk menjalani pemeriksaan pertama," kata tim marketing hVIVO, Sidra Faridi.
Setelah itu, peserta akan menjalani pemeriksaan kesehatan yang lebih mendalam, termasuk ECG, tes darah dan pemeriksaan lain oleh dokter spesialis.
Baca juga: Sengkarut Mahalnya Harga Obat
"Setelah hasil pemeriksaan keluar dan dicek, kami lalu mengundang mereka untuk menjalani uji klinis," lanjutnya.
Sebagian besar peserta uji klinis di hVIVO mengaku bayaran yang mereka terima sepadan dengan apa yang dijalani. Para staf juga umumnya telah menjelaskan secara lengkap langkah uji coba dan risikonya.
Seberapa berbahaya
Setiap perawatan medis terbaru membutuhkan serangkaian uji klinis, namun tahapan itu bukannya tanpa risiko, terutama pada fase pertama saat diuji coba pada manusia.
Contoh paling terkenal dan ekstrem dari hal ini adalah bencana uji coba obat Northwick Park tahun 2006, yang juga dikenal sebagai uji coba The Elephant Man, di mana enam pemuda yang sehat sakit parah akibat obat leukemia eksperimental yang dikenal sebagai TGN1412.
"Saya merasa kepala saya membengkak seperti kepala gajah - saya pikir bola mata saya akan keluar," kata Nav Modi, salah satu dari enam peserta, kepada BBC dalam sebuah wawancara setelah kejadian tersebut.
Baca juga: Pengobatan Kanker Hati Tanpa Kemoterapi
Sebagai tanggapan, dari kejadian tersebut, dibuat beberapa perubahan dalam pelaksaan uji coba medis apda manusia, termasuk pengawasan lebih ketat dari para ahli independen terhadap obat-obatan berisiko tinggi dan infus yang lebih lambat,alih-alih suntikan satu kali.
Untungnya, kasus seperti Northwick Park sangat jarang terjadi, dengan protokol regulasi yang ketat.
Meski berbagai aturan yang ada dibuat untuk memastikan uji klinis aman, tetapi tidak ada jaminan peserta tidak akan mengalami kondisi yang tidak nyaman.
Komedian John Tothill yang mengikuti uji klinis untuk obat malaria untuk mendanai salah satu show-nya mengatakan, ia menderita demam tinggi dan halusinasi.
"Itu adalah kondisi saya merasa paling jatuh sakit," katanya dalam wawancara dengan BBC.
Meski demikian, banyak orang-orang seperti Ben dari Cambridge yang tidak kapok dan berminat mengikuti uji klinis.
"Saya bahkan tidak sabar untuk mendaftar yang berikutnya," katanya.
Baca juga: Obat Baru dan Inovatif Sulit Masuk ke Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.