Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemenkes: Penyakit Mpox Bukan Efek Vaksin Covid-19

Kompas.com - 04/09/2024, 21:00 WIB
Elizabeth Ayudya Ratna Rininta

Penulis


KOMPAS.com - Narasi dengan klaim yang menyebutkan bahwa penyakit Mpox karena efek samping vaksin COVID-19 beredar di media sosial.

Narasi tersebut bahkan mengatakan bahwa terjadinya Mpox lantaran efek hancur sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh vaksin COVID-19.

Menanggapi narasi tersebut, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH mengatakan, penyakit Mpox bukan efek samping vaksin Covid-19.

Syahril menegaskan, Mpox dan COVID-19 merupakan dua penyakit yang berbeda.

Mpox telah muncul jauh sebelum kemunculan SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan vaksin COVID-19.
Berdasarkan informasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus Mpox pada manusia pertama kali dilaporkan di Republik Demokratik Kongo pada 1970. “Mpox dan COVID-19 ini dua penyakit yang berbeda.

Sebelum COVID-19 ada, Mpox sudah ada. Mpox dilaporkan ada sejak tahun 1970 dan endemis di Afrika barat dan tengah seperti di Afrika Selatan, Pantai Gading, Kongo, Nigeria, dan Uganda,” jelas Syahril di Jakarta, Rabu (28/8/2024).

“Di sana (Mpox) ada terus, tetapi tidak sporadis. Kemudian, WHO menyatakan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) untuk Mpox pada 23 Juli 2022. Indonesia pun ada satu kasus konfirmasi waktu itu, lalu tahun 2023 berlanjut dan 11 Mei dicabut status kedaruratannya oleh WHO.”

Pada 14 Agustus 2024, WHO kembali menyatakan Mpox sebagai PHEIC menyusul peningkatan kasus di Afrika Tengah dan Afrika Barat, terutama di Republik Demokratik Kongo dan sejumlah negara di Afrika.Selanjutnya, kasus Mpox juga dilaporkan negara-negara lain di luar Afrika.

Menilik sejarah kemunculan Mpox yang jauh sebelum pandemi COVID-19, Syahril menegaskan bahwa penyakit tersebut tidak ada kaitannya dengan efek samping vaksin COVID-19.

“Jadi, penyakit Mpox ini tidak dapat dikatakan karena efek samping dari vaksin COVID-19. Itu tidak ada hubungannya,” tegasnya.

Mpox adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Mpox (MPXV), spesies dari genus Orthopoxvirus. Ada dua clade virus MPXV, yaitu Clade I (dengan subclade Ia dan Ib) dan Clade II (dengan subclade IIa dan IIb).
Clade Ia dan Ib memiliki manifestasi klinis yang lebih berat bila dibandingkan dengan Clade II.
Pada periode 2022–2023, wabah Mpox global disebabkan oleh strain Clade IIb.
Saat ini, peningkatan kasus di Republik Demokratik Kongo dan negara-negara lain disebabkan oleh Clade Ia dan Ib.

Risiko Tertular Mpox

Mohammad Syahril mengingatkan, penularan virus Mpox antar-manusia dapat terjadi melalui kontak langsung.

Berdasarkan laporan kasus konfirmasi Mpox global, sebagian besar dialami oleh LSL atau Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki.

Kendati demikian, kasus konfirmasi Mpox juga dapat dialami kelompok masyarakat di luar LSL. Bahkan, anak-anak dapat terpapar Mpox jika mereka memiliki kontak erat dengan seseorang yang terinfeksi virus Mpox.

“Mpox ini penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung. Kontak langsung dapat berupa berjabat tangan, bergandengan, termasuk kontak seksual. Dalam laporan kasus Mpox di negara-negara di dunia, memang banyak terjadi pada laki-laki, hampir 96 persen laki-laki dan 60 persennya LSL,” terang Juru Bicara Syahril.

“Tetapi, ada juga yang kena di luar kelompok tersebut sehingga orang lain ikut tertular. Mpox bisa menyerang seluruh orang, termasuk anak-anak kalau dia tinggal bersama orangtua atau asisten rumah tangganya yang positif virus Mpox. Tertular virusnya bisa dari sprei, sarung bantal, handuk dan sebagainya.”

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau