Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr Kurniasih Mufidayati
Anggota DPR-RI

Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota DPR RI dan dosen.

Mengevaluasi Program Percepatan Penurunan Stunting

Kompas.com - 12/09/2024, 13:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH menargetkan tingkat prevalensi stunting pada 2024, yang merupakan tahun terakhir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, bisa mencapai angka 14 persen.

Namun, berdasarkan data Kementerian Kesehatan dari survei Kesehatan Indonesia, tingkat prevalensi stunting pada 2023 masih di angka 21,5 persen.

Jika dibandingkan data 2022, di mana tingkat prevalensi stunting sebesar 21,6 persen, berarti dalam setahun terakhir, penurunan tingkat prevalensi stunting hanya mencapai 0,1 persen.

Sementara dari tahun 2021 ke 2023, penurunan prevalensi stunting bisa mencapai 2,8 persen dalam setahun.

Menjadi pertanyaan besar, alih-alih percepatan penurunan stunting, yang terjadi malah pelambatan penurunan stunting.

Padahal pemerintah telah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di semua level pemerintahan, dari tingkat pusat sampai kelurahan/desa.

Fenomena lain adalah terjadinya peningkatan prevalensi stunting di perkotaan dalam dua tahun terakhir.

Kota Depok, misalnya, mengalami kenaikan tingkat prevalensi stunting. Demikian juga di wilayah Jakarta Barat yang juga mengalami peningkatan prevalensi stunting dari 15,2 persen pada 2022 menjadi 17,1 persen pada 2023.

Padahal daerah perkotaan relatif memiliki infrastruktur dan fasilitas kesehatan lebih baik. Selain itu, kecukupan pangan terjamin serta kemampuan pemerintah daerah memberikan pelayanan maupun menyediakan anggaran yang relatif lebih baik daripada daerah kabupaten yang didominasi pedesaan.

Menjadi pertanyaan besar, mengapa daerah perkotaan yang harusnya menjadi motor dalam percepatan penurunan stunting, justru mengalami peningkatan prevalensi stunting?

Skema percepatan penurunan stunting

Percepatan penurunan stunting pada balita sudah menjadi program prioritas pemerintah sebagaimana termaktub dalam RPJMN 2020-2024.

Target nasional pada 2024, prevalensi stunting turun hingga 14 persen. Untuk melaksanakan program ini, pemerintah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) dengan Wakil Presiden sebagai Ketua Tim Pengarah.

Percepatan penurunan stunting bertumpu pada lima pilar program. Pertama, peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di kementerian/lembaga (K/L), pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota dan desa).

Pilar 1 bertujuan memastikan pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah tingkat pusat, daerah, hingga tingkat desa.

Kedua, peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat. Pilar ke-2 bertujuan meningkatkan kesadaran dan pemahaman serta mendorong perubahan perilaku untuk mencegah stunting.

Pilar ketiga adalah peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di K/L, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa) yang bertujuan memperkuat konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program dan kegiatan pusat, daerah, dan desa.

Pilar keempat adalah peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga, dan masyarakat yang bertujuan meningkatkan akses terhadap makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan.

Pilar kelima adalah penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi yang bertujuan meningkatkan pemantauan dan evaluasi sebagai dasar untuk memastikan pemberian layanan bermutu, peningkatan akuntabilitas, dan percepatan pembelajaran.

Program percepatan penurunan stunting ini dilakukan dengan menetapkan fokus sasaran dan fokus wilayah.

Fokus sasaran dilakukan agar intervensi yang dilakukan efektif untuk mencegah munculnya stunting baru.

Sehingga program difokuskan pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK), yaitu dengan fokus intervensi pada ibu hamil, ibu menyusui dan bayi sampai usia 23 bulan.

Seribu hari pertama kehidupan merupakan masa paling kritis dalam tumbuh kembang anak. Sebanyak 48,9 persen ibu hamil menderita anemia dan sebagian lainnya mengalami gangguan Kurang Energi Kronik (KEK) yang menyebabkan prevalensi bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) masih tinggi, yaitu sekitar (6,2 persen).

Riskesdas 2013 mencatat bahwa penurunan tumbuh kembang anak merupakan akibat dari buruknya pola makan bayi dan anak.

Hal ini menyebabkan peningkatan prevalensi stunting seiring pertambahan usia dari 29 persen (0-6 bulan), ke 39 persen (6-11 bulan), dan menjadi 42 persen (usia 24-35 bulan).

Selain fokus sasaran (kelompok prioritas), percepatan penurunan stunting juga menetapkan kelompok sasasan penting program. Kelompok ini terdiri dari balita usia 24 – 59 bulan, wanita usia subur dan remaja putri.

Namun, kelompok sasaran penting ini baru akan dilakukan intervensi jika kelompok prioritas sudah diintervensi.

Fokus wilayah ditetapkan berdasarkan tingkat prevalensi stunting yang terjadi di wilayah tersebut.

Riset Kesehatan Dasar tahun 2028 mendapatkan data adanya dua provinsi yang memiliki tingkat prevelensi stunting sangat besar, yaitu di atas 40 persen. Bahkan ada 18 provinsi dengan tingkat prevalensi stunting tergolong tinggi, yaitu antara 30-40 persen.

Artinya lebih dari separuh provinsi di Indonesia memiliki tingkat prevalensi stunting di atas 30 persen.

Sebanyak 20 provinsi ini tentu menjadi wilayah prioritas bagi upaya percepatan penurunan stunting nasional.

Hanya Provinsi Jakarta yang mempunyai prevalensi stunting di bawah 20 persen, yang tergolong sedang dan rendah.

Selain stunting, prevalensi kurus (wasting) di beberapa provinsi juga sangat tinggi, yaitu di atas 10 persen. Hal ini mengindikasikan besarnya kasus kekurangan gizi akut, dengan risiko kematian sangat tinggi, yaitu 10 kali lebih besar dibandingkan dengan anak normal.

Prevalensi wasting yang tinggi ini menambah potensi peningkatan stunting lagi.

Problem percepatan penurunan stunting

Mengingat besarnya target dan kondisi stunting yang masih berat, maka Program Percepatan Penurunan Stunting Nasional melibatkan banyak instutusi.

Di tingkat nasional saja, setidaknya ada 20 kementerian/lembaga (K/L) yang terlibat dalam percepatan penurunan stunting. Jumlah institusi yang cukup banyak terlibat dalam penurunan stunting ini juga berdampak pada alokasi anggaran yang sangat besar, yaitu mencapai Rp 34 triliun untuk penurunan stunting yang tersebar di 20 institusi.

Banyaknya jumlah K/L yang terlibat dalam percepatan penurunan stunting mungkin disebabkan intervensi yang dilakukan bersifat multidimensi serta sasaran program yang mencakup rentang usia yang cukup bervariasi.

Rentang usianya dari 1000 HPK, balita sampai dengan perempuan usia subur, sehingga melibatkan instansi kependidikan yang terkait dengan pengelolaan anak usia dini.

Demikian pula dengan dukungan yang diperlukan dalam penanganan stunting, termasuk dari sisi sistem jaminan sosial. Sehingga kelembagaan yang mengelola jaminan sosial juga dilibatkan.

Dari aspek kebutuhan untuk berbagi peran dan saling melengkapi untuk mencapai tujuan besar percepatan penurunan stunting, keterlibatan banyak institusi ini memang cukup rasional. Namun keterlibatan banyak lembaga juga menyimpan permasalahan lain.

Masalah terbesar dari keterlibatan banyak institusi ini adalah koordinasi antarlembaga dan kemampuan leading sector dalam melakukan harmonisasi keterlibatan antarlembaga.

Dalam banyak kasus, keterlibatan banyak institusi pemerintah dalam program sering menemui masalah dalam hal koordinasi dan efektifitas kerja.

Seringkali masing-masing lembaga bekerja sendiri-sendiri tanpa memperhatikan keterkaitan program dan kegiatan yang dilakukan institusi lain.

Hal ini juga nampak pada program percepatan penurunan stunting. Progran yang dilakukan oleh instutusi kurang menjawab permasalahan yang dihadapi dalam penurunan stunting.

Hasil kajian Prasetya (2023) dan Archda (2019) menunjukkan koordinasi antarberbagai instansi pemerintah seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, dan BKKBN dalam melaksanakan program penanggulangan stunting juga belum optimal.

Selain itu, contoh sederhana adalah belum adanya lembaga yang memberikan perhatian terhadap gaya hidup dan pola konsumsi remaja putri yang tidak menjalankan gizi seimbang sehingga banyak remaja putri mengalami anemia.

Padahal perempuan usia subur yang mengalami anemia ini berkontribusi terhadap terjadinya stunting.

Problem kedua adalah terkait leading institution dalam penurunan stunting. Setelah beberapa tahun stunting ditangani oleh Kementerian Kesehatan, melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, Presiden menugaskan BKKBN sebagai koordinator pelaksanaan percepatan penurunan stunting di lapangan.

Padahal anggaran untuk penurunan stunting paling banyak ada di Kementerian kesehatan dan berbagai kegiatan intervensi untuk penurunan stunting juga banyak yang terkait dengan sektor kesehatan.

Di tingkat daerah juga lebih dominan perangkat daerah di bidang kesehatan yang menangani program penurunan stunting dengan melibatkan rumah sakit daerah, Puskesmas dan Posyandu.

Problem ketiga terkait konvergensi anggaran. Banyaknya K/L yang terlibat dalam program percepatan penurunan stunting dengan anggaran yang tersebar juga membawa permasalahan pada adanya kebutuhan konvegensi anggaran.

Semua anggaran perlu dikonvergensikan karena dana untuk aksi percepatan penurunan stunting tersebar di 20 K/L. Dana dari pusat sekitar Rp 34 triliun harus sinergis dengan dana 20 K/L, dan dana transfer daerah

Problem berikutnya adalah dalam hal data, monitoring dan evaluasi. Program besar dengan banyak lembaga yang terlibat menuntut sinergitas data serta monitoring dan evaluasi yang lebih baik.

Dalam hal data, misalnya, di tingkat lapangan, ada kasus perbedaan data dalam mengukur penurunan stunting antara data yang digunakan dari survei kesehatan Indonesia dengan data terkait kecukupan gizi yang dilakukan daerah.

Ada daerah yang mengklaim bahwa tingkat prevalensi stunting di daerahnya sudah menurun dan rendah, namun berdasarkan hasil SKI, tingkat prevalensi stunting di daerah tersebut justru meningkat.

Padahal tantangan untuk penurunan prevalensi stunting masih sangat kompleks karena berkelindan dengan persoalan kemiskinan dan tingkat pendidikan.

Mulai dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat yang masih sangat kurang terhadap stunting dan penyebabnya, faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap usia pernikahan, pola konsumsi, kondisi infrastruktur khususnya penyediaan, air bersih, sanitasi dan fasilitas kesehatan.

Ada daerah dengan sumber pangan bergizi yang berlimpah, namun faktor budaya dalam mengonsumsi makanan menyebabkan stunting masih tinggi di daerah tersebut.

Ada daerah yang tidak miskin, infrastruktur baik, namun karena pola asuh anak yang buruk menyebabkan stunting tinggi di daerah tersebut.

Masih cukup banyak pekerjaan rumah untuk penurunan stunting yang dihadapi pemerintah. Target untuk mencapai tingkat prevalensi stunting sampai 14 persen pada 2024, nampaknya sangat sulit untuk dicapai.

Banyaknya K/L yang terlibat dalam percepatan penurunan stunting saja tidak cukup. Diperlukan penajaman dan integrasi kebijakan dan program, keterlibatan stakeholder di luar pemerintah, edukasi masif di masyarakat sampai yang menyentuh perbaikan pola hidup dan gaya hidup (dalam konsumsi makanan) dan pola asuh anak serta koordinasi yang baik dalam pelaksanaan program.

Evaluasi terhadap kebijakan dan program yang saat ini berjalan mutlak dilakukan. Percepatan penurunan stunting tidak boleh berhenti ketika target di 2024 tidak tercapai.

Dengan perbaikan kebijakan dan implementasi program, masih ada harapan untuk mempersiapkan dan mencetak generasi emas Indonesia di 2045.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau