Namun, karena atlet terbiasa dengan kelelahan fisik, gejala ini sering kali diabaikan.
Penyebab utama SCD berbeda berdasarkan kelompok usia:
Atlet muda (<35 tahun)
Pada atlet muda, penyebab utama SCD adalah kelainan jantung bawaan yang sering kali tidak terdeteksi sebelumnya. Menurut Wasfy dan Egger penyebab utama meliputi:
-Kardiomiopati hipertrofik (HCM) – Penebalan otot jantung yang dapat menyebabkan aritmia fatal.
-Anomali arteri koroner – Arteri koroner tumbuh dengan posisi abnormal, menghambat suplai darah ke jantung saat aktivitas berat.
-Displasia ventrikel kanan aritmogenik (ARVD) – Otot jantung ventrikel kanan digantikan oleh jaringan lemak, meningkatkan risiko aritmia.
Atlet dewasa (>35 tahun)
Pada kelompok ini, penyebab utama adalah penyakit jantung koroner (Coronary Artery Disease/CAD).
Wasfy mencatat, 21 per 1 juta atlet dewasa per tahun mengalami SCD akibat CAD.
Menurut Egger lebih dari 50 persen kasus SCD pada atlet di atas 35 tahun disebabkan oleh CAD, yang diperburuk oleh:
-Merokok dan pola makan tinggi lemak.
-Tekanan darah tinggi akibat olahraga intens.
-Peradangan yang tidak terkontrol (misalnya, sakit flu atau infeksi gigi).
Faktor lain yang berkontribusi pada SCD
Selain penyakit jantung, faktor lain yang meningkatkan risiko SCD meliputi:
-Dehidrasi, yang menurunkan volume darah dan meningkatkan beban kerja jantung.
-Ketidakseimbangan elektrolit, terutama kalium dan magnesium, yang bisa memicu aritmia.
-Penggunaan doping dan suplemen yang tidak terkontrol, yang meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung secara ekstrem.
Dilansir dari situs Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), pencegahan SCD dalam olahraga dapat dilakukan melalui skrining medis yang tepat, persiapan medis di lapangan, dan edukasi tentang resusitasi jantung paru (RJP).
1. Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Rutin
-Elektrokardiogram (EKG): Mendeteksi kelainan ritme jantung.
-Ekokardiogram: Melihat ketebalan dinding jantung dan kelainan struktural.
-Tes stres jantung (Treadmill Stress Test): Mengidentifikasi risiko serangan jantung selama aktivitas fisik.
Baca juga: Kasus Kematian Mendadak Pebulu Tangkis, Dokter Sebut Perlu Ada AED di Fasilitas Umum
Menurut Egger, EKG adalah alat skrining paling efektif, dengan sensitivitas 5 kali lebih tinggi dibandingkan riwayat medis dan 10 kali lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan fisik.
2. Persiapan Sebelum Berolahraga
-Pastikan cukup istirahat dan terhidrasi.
-Hindari alkohol, kafein, dan obat-obatan yang dapat mempengaruhi jantung.
-Pemanasan dan pendinginan yang cukup sebelum dan sesudah olahraga.
3. Kesiapsiagaan Tim Kesehatan
-Latihan RJP rutin untuk pelatih dan atlet.
-Ketersediaan AED (Automated External Defibrillator) di lokasi olahraga.
-Penempatan AED di lokasi yang mudah dijangkau.
Menurut American Heart Association, RJP yang dilakukan dalam 3-5 menit pertama dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup hingga 74 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.