Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Lagi Berpenyakit Korupsi

Kompas.com - 13/02/2010, 19:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  Seperti halnya mereka yang berprestasi menonjol, anak-anak orang kaya atau yang berkedudukan tinggi, biasanya lebih dikenal di antara teman sekolah/kuliah maupun pengajar. Hal ini bisa menjadi kebanggaan bagi anak pejabat/pengusaha tersebut.

Namun, tidak selalu kebanggaan yang mereka rasakan. Seperti yang terjadi pada Netty, anak seorang bupati. Bukan kebanggaan yang dirasakannya, justru malu tak terkira. Ayahnya diketahui terlibat korupsi senilai ratusan juta rupiah.

Tidak seperti banyak anak pejabat dan orang kaya yang gemar berpesta-pora, kebetulan Netty menjalani hidup secara wajar, meski tetap lebih mewah daripada rata-rata temannya. Kemewahan itu selama ini ia nikmati tanpa prasangka.
Meski jarang mengobrol dengan ayahnya, Netty mengenalnya sebagai figur yang baik, arif, dan disegani oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia maklum bahwa ayahnya sangat sibuk, baik sebagai bupati maupun karena perannya dalam partai politik.

Kini Netty bingung. Bukan saja malu pada teman di kampus dan masyarakat yang mengenalnya. Ia tidak habis pikir, mengapa ayah yang dikiranya baik dan bermoral itu terbukti di pengadilan sebagai koruptor.

Mengapa Korupsi?
Seringkali orang berpikir, antara sikap dan perilaku itu selalu sesuai. Kenyataannya tidak. Seseorang yang menyukai produk tertentu, belum tentu menggunakannya. Mungkin karena harganya tak terjangkau. Sebaliknya, meski seseorang tidak suka rokok, belum tentu ia tidak merokok. Ia merokok mungkin karena ingin seperti teman-temannya.

Demikian juga halnya korupsi. Tidak ada orang yang setuju dengan korupsi, meski pada kenyataannya korupsi begitu merajalela di negeri ini. Seolah-olah siapa saja yang masuk dalam lingkungan pemerintahan, birokrasi, atau partai politik akan selalu terbelit tindakan korupsi. Bahkan, korupsi bagi pelakunya tidak lagi dirasa sebagai hal tabu, melainkan perbuatan yang wajar. Mengapa bisa demikian?

1. Kekaburan Identitas
Kedudukan, menjadi kaya dalam waktu singkat, menikmati hidup mewah, telah menjadi gaya hidup bersama pada 30-an tahun terakhir ini. Tidak enak dan aneh rasanya bergaya hidup sederhana di tengah lingkungan sosial yang borjuis.
Demikian juga tindakan meminta komisi dari para pengusaha yang memerlukan izin, melakukan mark-up proyek, memotong anggaran pembangunan, dan sebagainya. Lalu diikuti dengan langkah bagi-bagi rezeki dengan rekan sekerja, membuat tindakan korupsi tidak lagi terasa sebagai korupsi, melainkan kebiasaan dalam sistem sosial.  

Dalam situasi bersama orang lain, individu mengalami kekaburan identitas (kesadaran akan identitas pribadinya cenderung melemah), sehingga kurang peduli adanya penilaian dari orang lain. Rasa tanggung jawab pribadi pun melemah.
Korupsi tak lagi terasa sebagai korupsi karena bukan menjadi tanggung jawab pribadi. Bahkan, sebagai sesuatu yang dilakukan secara kolektif, seringkali justru terasa sebagai “kesuksesan” bersama.

2. Konformitas
Bila seseorang menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan sikap dan perilaku kelompok, berarti ia melakukan konformitas. Kebenaran yang semula diyakini seseorang dapat berubah seketika bila orang-orang dalam kelompok tampak memiliki keyakinan yang berbeda. Ia cenderung meragukan pendapatnya sendiri yang berbeda dengan pendapat orang lain dalam kelompok. Itulah yang mendasari perubahan sikap dan perilakunya sesuai sikap dan perilaku kelompok.

Dalam psikologi, fenomena konformitas ini sangat dikenal melalui eksperimen yang dilakukan Solomon Asch. Dalam eksperimennya Asch meminta subjek untuk memilih salah satu di antara tiga garis (garis 1, 2, dan 3) yang memiliki tinggi yang sama dengan garis X.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com