Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IDI Jamin Kompetensi Dokter Umum

Kompas.com - 15/11/2011, 06:16 WIB

Jakarta, Kompas - Ikatan Dokter Indonesia menjamin dokter umum yang berpraktik di seluruh Indonesia mempunyai kompetensi memadai untuk memberikan layanan kesehatan primer, termasuk pemberian antibiotika kepada pasien.

Hal itu ditegaskan Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto di Jakarta, Senin (14/11), menanggapi tudingan dokter umum gegabah memberikan antibiotika sehingga menyebabkan pasien kebal terhadap obat. Kemampuan dokter umum itu dikontrol lewat proses sertifikasi kompetensi lima tahun sekali yang dilakukan Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga Indonesia IDI.

”Sertifikat kompetensi diperlukan untuk mendapatkan surat tanda registrasi (STR) yang dikeluarkan Konsil Kedokteran Indonesia,” katanya.

Di negara lain. lanjut Slamet, dokter umum menangani 70-80 persen layanan kesehatan primer. Sementara, dokter spesialis menangani sisanya. Dokter spesialis hanya bisa menangani pasien berdasarkan rujukan dokter umum.

”Karena sistem rujukan jalan, angka kesakitan, angka kematian, hingga resistensi obat kecil,” ujar Slamet.

Kondisi di Indonesia berkebalikan. Sistem rujukan dan pembiayaan kesehatan menyeluruh (universal coverage) yang belum berjalan membuat banyak pasien langsung berobat ke dokter spesialis. Padahal, tindakan ini berisiko.

Peresepan obat yang tak standar, lanjut Slamet, dapat dilakukan dokter umum ataupun dokter spesialis. Apabila hal ini terjadi, IDI berhak mengauditnya. Namun, hingga kini belum ada data yang menunjukkan resistensi antibiotika yang terjadi disebabkan kegegabahan dokter umum.

IDI berharap pemerintah memperketat aturan pembelian antibiotika dengan mewajibkan menyertakan resep dokter.

Tanggung jawab bersama

Secara terpisah, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Kustantinah mengatakan, pemerintah, organisasi profesi kedokteran dan apoteker, serta pelaku usaha perlu bersama-sama mencegah resistensi antibiotika.

Pemberdayaan publik harus terus dilakukan. Sebagian masyarakat membeli antibiotik tanpa resep dokter, hanya berdasarkan pengalaman penyakit sebelumnya, atau berhenti minum antibiotika sebelum waktunya.

”Banyak yang tak paham bahaya mengonsumsi antibiotika secara serampangan,” katanya.

Kustantinah menegaskan, BPOM sudah mengawasi toko obat atau apotek yang melanggar penjualan antibiotika. Namun, yang berhak memberikan sanksi kepada mereka adalah pemerintah kabupaten/kota selaku pemberi izin apotek atau toko obat itu. ”Sanksi sangat bergantung kepedulian masing-masing pemerintah daerah,” katanya. (MZW)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com