Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/08/2012, 06:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com "Selama 12 tahun saya menderita kencing manis, dan sudah berobat ke mana-mana juga tidak sembuh. Sampai terkena komplikasi gagal ginjal, dan seluruh tubuh saya membengkak. Kemudian saya berobat ke klinik ********, hanya dengan 3 kali pengobatan, diabetes dan gagal ginjal saya teratasi. Sekarang, saya bisa melakukan pekerjaan dengan normal kembali."

Kutipan testimoni tersebut belakangan ini mungkin sangat akrab di telinga Anda. Iklan kesaksian pasien itu gencar ditayangkan di layar kaca. Anda juga mungkin mengetahuinya dari situs jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Maklum, kini banyak orang keranjingan menjadikan testimoni ini sebagai bahan olok-olokan. Anda juga mungkin kerap tertawa menyimak bagaimana orang memarodikan testimoni iklan tersebut. Namun, bagi kalangan medis, iklan testimoni ini jauh dari kesan lucu, malah bisa menyesatkan.

Betapa tidak, iklan berisi testimoni ini menawarkan janji dan jaminan kesembuhan, serta ditayangkan oleh televisi nasional secara berulang-ulang. Secara psikologis, testimoni ini dapat menimbulkan rasa ingin tahu masyarakat untuk mencoba. Dengan janji dan jaminan sembuh 100 persen, mereka yang sakit akan tergerak berobat ke klinik seperti ini. Pada gilirannya, iklan testimoni ini justru berpotensi merugikan masyarakat baik dari sisi finansial, psikis, maupun kondisi kesehatannya.

Seperti diungkapkan pengamat kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia Prof dr Hasbullah Thabrany, iklan kesaksian pasien yang diusung klinik-klinik pengobatan alternatif, baik traditional chinese medicine (TCM) maupun klinik tradisional lainnya, belum dapat menyajikan fakta-fakta ilmiah sehingga cenderung berpotensi menyesatkan masyarakat.

"Iklan testimoni itu tidak bisa mewakili bukti ilmiah. Kalau mereka bisa menyodorkan hasil berdasar riset, misalnya berapa ratus pakai obat itu untuk mengatasi kanker dan tidak pakai obat lain ternyata sembuh, ya boleh silakan, kita dukung. Kalau belum, lalu diiklankan besar-besaran di televisi itu sangat menyesatkan," kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia itu saat ditemui di Jakarta, pertengahan pekan lalu.

Iklan testimoni ini juga dinilai telah menyalahi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1787 Tahun 2010. Berdasarkan Permenkes yang mengatur iklan dan publikasi pelayanan kesehatan itu dinyatakan bahwa masyarakat sebagai pengguna pelayanan kesehatan perlu diberi perlindungan dari informasi berupa iklan dan publikasi pelayanan kesehatan yang menyesatkan. Permenkes ini mengandung arti setiap iklan dan publikasi layanan kesehatan harus memuat informasi yang didasarkan atas data berbasis fakta ilmiah, edukatif, serta memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi masyarakat.

Tak hanya melanggar Permenkes, iklan testimoni pengobatan alternatif tersebut juga dinilai melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Seperti diungkapkan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, iklan testimoni sulit dipertanggungjawabkan. 

Menurutnya, tak ada penyakit kronis seperti gagal ginjal atau kanker dapat sembuh secara total hanya dengan melakukan terapi dalam waktu singkat. "Logikanya, mana ada penyakit kronis bisa sembuh total hanya karena datang 3 sampai 5 kali dengan membayar sejumlah uang," ujarnya.

Di dalam UU Perlindungan Konsumen, kata Marius, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, serta jujur. Masyarakat juga berhak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan berdasarkan fakta, bukan hanya sekadar "omongan". Apabila hak konsumen ini tidak dipenuhi, pelanggar bisa mendapatkan tuntutan ganti rugi denda maksimal Rp 2 miliar, bahkan sampai pidana kurungan 5 tahun.

Sejauh ini, kata Marius, pihaknya memang belum mendapatkan keluhan atau pengaduan dari masyarakat terkait praktik pengobatan TCM. Namun, hal itu bukan berarti tidak ada kasus sama sekali.  "Mungkin sebenarnya banyak masyarakat yang telah tertipu. Sudah keluar uang puluhan juta, tapi tidak sembuh. Sayangnya, memang tidak ada datanya atau mereka malu membuat pengaduan," kata Marius.

Lebih jauh, Hasbullah menilai permasalahan ini tak terlepas dari kegagalan pemerintah dalam melindungi dan memberikan hak pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pilihan berobat ke klinik alternatif, kata Hasbullah, muncul karena masyarakat menganggap pengobatan medis mahal dan lama sembuhnya.

"Itu adalah masalah lainnya, tapi kalau pengobatan masyarakat bisa dijamin asuransi di rumah sakit maka kejadian seperti ini tidak akan terjadi," ujarnya.

Hasbullah menyarankan pemerintah, dalam hal ini bukan saja Kementerian Kesehatan, seharusnya bersinergi dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi persoalan ini dan melihat kepentingan masyarakat secara lebih luas. Pemerintah perlu meningkatkan upaya perbaikan kualitas kesehatan masyarakat secara menyeluruh, dan bukan sekadar mengurus produk atau obat yang mendatangkan keuntungan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Lengkapi Profil
    Lengkapi Profil

    Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com