Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Puspita Wijayanti
Dokter, Aktivis Sosial, Kritikus

Saya adalah seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, saya berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalaman saya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.

Ketika Ruang Pemeriksaan Pasien Tak Lagi Aman

Kompas.com - 15/04/2025, 10:16 WIB
1
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUA kasus terbaru yang muncul di Indonesia membuka luka yang tak bisa dibungkam dengan alasan prosedur atau nama baik institusi.

Dua kasus terbaru, yakni dugaan pelecehan oleh dokter kandungan di Garut dan pemerkosaan oleh dokter residen di RSHS Bandung.

Keduanya memiliki pola sama, yaitu tindakan tidak senonoh yang terjadi dalam ruang tertutup, di balut kewenangan medis, dan berlindung di balik diamnya desain ruang dan sistem pelaporan.

Namun, apa yang luput dibicarakan publik, bahkan regulator? Arsitektur ruang, baik ruang pemeriksaan, ruang tindakan, bahkan ruang tunggu berperan besar dalam memperkuat relasi yang timpang antara tenaga medis dan pasien.

Di ruang inilah, tubuh manusia tak hanya diperiksa, tetapi juga berpotensi diobjektifikasi dan dilanggar.

Baca juga: Penangguhan PPDS Anestesi RS Hasan Sadikin dan Tanggung Jawab Sistemik

Ruang medis dan ilusi netralitas

Ruang medis di Indonesia masih dianggap netral, steril, bahkan suci. Namun, dalam realitas sosial, ruang itu adalah arena dominasi, bukan semata-mata karena keahlian dokter, tetapi karena desain yang membuat pasien kehilangan kontrol.

Pasien yang berbaring dalam posisi litotomi, tak bisa melihat tangan dokter. Tirai yang menutup wajah pasien dari alat, layar, dan bahkan pendamping.

Pintu yang tertutup rapat tanpa jendela. Tidak ada alarm. Tidak ada jeda untuk verbal consent di setiap tahap tindakan.

Ini bukan ruang penyembuhan. Ini adalah ruang kosong dari pertanggungjawaban.

UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjamin hak pasien atas privasi, persetujuan tindakan, dan perlindungan dari perlakuan tidak manusiawi.

SNARS (Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit) mengatur bahwa rumah sakit harus menghormati kebutuhan privasi pasien dalam pemeriksaan.

Namun, tidak satu pun regulasi bicara tentang desain ruang sebagai alat pencegah kekerasan. Tidak ada kewajiban ruang untuk memiliki buffer zone, cermin reflektif, tombol panik, atau SOP verbal dalam USG transvaginal.

Regulasi kita menganggap etik dan moral cukup mengawal ruang. Padahal justru dalam diamnya ruang, predator bersembunyi.

Ketika teori kriminologi berbicara tentang kontrol sosial sebagai benteng terakhir, sistem hukum Indonesia justru memercayakan perlindungan korban kepada keheningan prosedur administratif.

Kita belum memiliki regulasi eksplisit yang mempersoalkan bagaimana ruang dapat memperkuat atau melumpuhkan mekanisme etik. Ini adalah lubang hitam legislasi.

Halaman:
1
Komentar
mau di ruang terbuka mau tertutup itu kembali lagi ke moral manusia nya tenaga medis nya.jika otak nya sudah mesum munculah kriminal.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ungkap Lonjakan Truk di Priok, Pramono: Jadi Beban Tanjung Priok
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau