Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2016, 19:20 WIB

Siti Muslihah (17) duduk melantai di beranda rumah sambil menimang Vina (5 bulan). Sekilas, keduanya seperti kakak dan adik yang sedang bercengkerama. Padahal, Lili, panggilan akrab Siti Muslihah, adalah ibu dari bayi perempuan yang dia pangku. Pemandangan seperti ini lumrah di Cirebon, Jawa Barat.

Lili lahir dan mengenyam pendidikan menengah pertamanya di Jakarta, tepatnya di kawasan Pulogadung. Setamat dari madrasah tsanawiyah, ia dimasukkan ke pesantren tradisional di Kabupaten Kuningan, Jabar, oleh orangtuanya.

Menjelang usia 17 tahun, Lili dinikahkan dengan Syamsudin (31), guru mengaji dari Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kabupaten Cirebon. Dusun itu adalah kampung halaman orangtua Lili. Syamsudin masih terbilang kerabatnya.

"Saya sudah menempuh pendidikan di pesantren. Sudah mandiri, bisa masak, dan mencuci sendiri. Jadi, sudah siap nikah," kata Lili ketika ditemui di dusun itu, Sabtu (16/4).

Jika kelahiran RA Kartini pada 21 April 1879 dijadikan sebagai tonggak bangkitnya emansipasi perempuan di Tanah Air, berkaca pada pernikahan dini itu, emansipasi yang dimaksud masih sebatas impian.

Benda Kerep merupakan komunitas pesantren tradisional. Mayoritas warga tinggal dan menempuh pendidikan di pesantren itu. Umumnya mereka menempuh pendidikan formal hingga SMP saja. Setelah itu, mereka masuk pesantren. Di sana, mereka mengurus diri sendiri. Ini dianggap sebagai proses memandirikan dan menyiapkan remaja putri itu menuju jenjang pernikahan.

Kepala Posyandu Benda Kerep Uswatun Hasanah menjelaskan, di wilayah itu terdapat 561 keluarga. Sekitar 80 persen perempuan setempat menikah pada usia 16-18 tahun.

Muhtadi, suami Uswatun, yang juga tokoh masyarakat setempat, menuturkan, jika seorang remaja perempuan sudah dilirik pria, itu pertanda bagus.

"Kalau anak perempuan berumur 17 tahun sudah ada yang meminang dan dia pun sreg kepada peminangnya, orangtua harus segera menikahkan. Pemali menolak jodoh," tutur Muhtadi. Di dusun itu, perempuan yang masih lajang pada usia lebih dari 21 tahun dicap sebagai "perawan tua". Sebutan itu ibarat momok bagi orangtua.

Marak

Pembina Institut Sofi, lembaga swadaya masyarakat yang memberikan penyuluhan sosial, pendidikan, dan kesehatan kepada anak-anak muda di Cirebon, Faridah Mahri, menjabarkan maraknya pernikahan remaja di daerah itu.

Di wilayah kampung nelayan umumnya pernikahan dilakukan karena orangtua tidak sanggup membiayai hidup anak-anaknya. Anak perempuan harus cepat dinikahkan agar selanjutnya menjadi tanggungan suami.

Juga ada pernikahan dini dengan alasan mengamalkan adat istiadat, terlepas dari kondisi ekonomi keluarga yang sebenarnya mampu untuk membiayai pendidikan anak.

"Yang kerap ditemukan kini ialah pernikahan dini akibat kehamilan tidak direncanakan," ujar Faridah. Ia mengakui belum ada pendataan yang lengkap mengenai kepastian angkanya.

Menikahkan remaja yang hamil karena pergaulan bebas dianggap sebagai jalan keluar yang tepat untuk melindungi martabat keluarga.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com