Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2016, 19:20 WIB

Kisah ini dialami W (20), warga Desa Mertasinga. Empat tahun lalu, ketika duduk di kelas II SMP, W berbadan dua. Oleh keluarga, ia langsung dinikahkan dengan remaja pria yang menabur benih di rahimnya. Hal itu dilakukan agar ketika bayi itu lahir, di akta kelahirannya tertera nama ayah dan ibu, bukan hanya nama ibu.

Belum genap setahun, pernikahan itu kandas. Suami W pergi dan tak pernah kembali. Kini, W dan putrinya, I (4), tinggal dengan kedua orangtuanya yang bekerja sebagai buruh pengupas kulit rajungan. Keempat kakaknya bekerja sebagai nelayan. Adapun W, karena tak melanjutkan sekolah, bertugas membersihkan rumah dan memasak.

Pernikahan itu meninggalkan trauma bagi W. Air matanya berlinang setiap kisah itu diungkit. Putus sekolah mengakibatkan dia tak punya keterampilan untuk menopang hidupnya. "Penginnya bisa cari duit, tetapi enggak tahu caranya," tuturnya.

Di luar bertambahnya beban "domestik", sederet risiko lain juga mengancam bagi remaja yang menikah di usia dini. Dokter spesialis anak yang mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Fransisca, menyebutkan beberapa risiko bagi anak perempuan menikah dini atau terlalu muda.

Pertama, berisiko mengalami gangguan jiwa akibat stres. Pernikahan membutuhkan kemampuan pengelolaan rumah tangga yang matang, bijak, dan rasional. Pada usia remaja, mental masih labil sehingga belum mampu berpikir dewasa.

"Saat menghadapi masalah, karena terlalu emosional dan tidak memiliki banyak perspektif, bisa menjurus stres," jelas Fransisca.

Kedua, rawan tertular penyakit seksual. Organ seksual remaja belum sepenuhnya sempurna dan amat sensitif. Jika remaja perempuan aktif secara seksual, organ seksualnya mudah terluka dan meradang. Ini mengakibatkan berbagai kuman penyakit mudah menginfeksi. Misalnya, hepatitis B dan human papilloma virus yang berakibat kanker leher rahim.

Fransisca menambahkan, dalam proses kehamilan, terjadi perebutan nutrisi antara remaja hamil dan janin yang ia kandung. Akibatnya, kedua belah pihak mengalami kekurangan gizi dan kualitas bayi yang kelak dilahirkan di bawah normal.

Artinya, generasi yang dilahirkannya pun rawan dalam masa tumbuh kembang.

Untungnya, di Desa Mertasinga, warga mulai tersadar dengan kasus menikah dini akibat kehamilan tidak direncanakan itu. Warga sekarang menggalakkan keluarga berencana (KB). Pada 2015, Mertasinga dijadikan "Kampung KB", proyek percontohan bagi desa-desa lain.

Di samping menyasar keluarga pasangan usia subur, penyuluhan seputar kesehatan reproduksi juga turut ditujukan kepada kaum remaja.

(LARASWATI ARIADNE ANWAR/ABDULLAH FIKRI ASHRI)

------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2016, di halaman 1 dengan judul "Beban Menjadi Ibu Saat Masih Remaja".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com