Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/11/2012, 10:23 WIB

KOMPAS.com -  Sabtu (03/11/12) lalu, tepat di pagi hari kami dikejutkan oleh kabar seorang perempuan yang melompat ke jurang. Bukan hanya sekali, perempuan itu melompat kedua kalinya. Keluarganya tergopoh-gopoh memanggil kami di puskesmas. Dengan cepat, kami mendatangi kediaman perempuan itu.

Perempuan muda itu bernama Ningrum. Ia mengalami gangguan halusinasi yang sering dikatakan orang awam sebagai “gila”. Luka-luka dan kaki penuh tanah, begitu kondisi pertama kali Ningrum setelah upanyanya loncat ke jurang. Ia melompat karena merasa ada orang yang membisiki telinganya untuk terjun.  Beruntung tingginya hanya 3 meter, dan di bawahnya bukan bebatuan.

Tidak mudah memang menyandang predikat “gila” karena ternyata masih banyak stigma negatif terhadap orang gangguan jiwa. Mereka dijauhi, diledek, bahkan dilecehkan oleh masyarakat. Banyak diantara mereka yang beranggapan pasien jiwa tidak dapat sembuh.

Mengubah paradigma, itulah yang kami lakukan pertama kalinya. Setelah memberikan suntikan obat penenang kepada Ningrum, barulah dokter bekerja sama dengan psikolog untuk mendamaikan keluarga Ningrum. Psikolog Fairuz bersama saya meluangkan waktu lebih untuk mendengarkan kisah dari keluarga dan perlahan meluruskan hal-hal yang selama ini salah di masyarakat.

Yah…kalau dia berontak terus begitu, akhirnya saya kunci saja atau saya ikat di dalam rumah. Malu sama tetangga kalau dia sampai ganggu orang lain”, kata ayah Ningrum. Ia awalnya berpikiran seperti itu, walaupun sebenarnya ada rasa sayang terpancar dari wajahnya. Betapa keras perjuangan ayah Ningrum mengobati anaknya hingga ke rumah sakit jiwa yang jarak dan biayanya tidak sedikit.

Hasilnya, perlahan dalam pertemuan pertama tersebut, Ningrum yang tidak pernah mandi berhasil mandi sendiri untuk kali pertamanya. Hal sederhana tersebut tentu saja membuat saya sangat bahagia. Ternyata, bahagia itu memang sederhana. Melihat pasien yang kita rawat berubah perilaku menjadi lebih baik, itu adalah bahagia.

Ningrum masih meracau, namun sudah tidak memberontak seperti awal. Setelah mau mandi, wajahnya pun terlihat lebih segar. Gadis muda berumur 21 tahun yang sudah menjanda dua kali ini memang awalnya sering berbicara sendirian karena merasa ada teman “imajiner” yang mengajaknya ngobrol.  Bahkan bisikan-bisikan yang dalam ilmu saya disebut halusinasi juga muncul. Halusinasi adalah kesalahan persepsi klien terhadap stimulus yang sebenarnya tidak ada. Halusinasi inilah yang di alami Ningrum sejak Desember 2011. Gejala tersebut makin muncul setelah diceraikan suaminya. Padahal, dulu Ningrum ibu yang baik dan rajin karena setiap pagi pasti sudah pergi ke kebu untuk bercocok tanam.

Gangguan jiwa bernama Skizofrenia itulah yang dialami Ningrum dan tidak menutup kemungkinan anda semua yang saat ini dalam keadaan sehat pun dapat mengalaminya. Banyak faktor risiko yang dapat muncul dan mempengaruhi jiwa seseorang, hingga akhirnya terguncang dan terganggu. Kepribadian yang cenderung menutup diri atau intovert lebih mudah terganggu jiwanya. Seperti Ningrum yang cenderung menyimpan masalah sendiri dan jarang berinteraksi dengan tetangga. Hal inilah yang membuat Ningrum sering merasa sendiri dan perlahan timbul halusinasi.

Keluarga berperan penting

Pasien seperti Ningrum dapat disembuhkan dan keluarga memegang peranan penting.  Memberi waktu khusus untuk sekadar ngobrol dengan Ningrum walaupun dia masih suka meracau sendiri merupakan terapi yang dapat mempercepat kesembuhan Ningrum.  Termasuk di dalamnya memberikan aktivitas fisik yang tidak membahayakan agar ada kesibukan dan tidak terlalu sering melamun.

Keluarga merupakan faktor pendukung terkuat untuk mempercepat kesembuhan orang yang mengalami gangguan jiwa. Keluarga diharapkan mampu memberikan perhatian lebih kepada orang gangguan jiwa untuk mengenal penyebab halusinasinya, meningkatkan kesadaran pasien dengan realita yang ada. Agar sadar bahwa yang dia rasakan tidaklah nyata, menurunkan stress agar tidak kambuh, dan meningkatkan harga diri agar dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat. Selain itu, keluarga harus selalu mengingatkan pasien untuk minum obat secara teratur. Walaupun tidak dapat menyembuhkan pasien secara total, hal ini dapat mengembalikan fungsinya sebagai makhluk sosial yang produktif.

Minum obat secara teratur  juga penting, karena ternyata tidak semua keluarga memahami proses penyembuhan dari obat yang diminum.

Wah sudah saya hentikan bu, karena kalau dikasih obat penenang dan tidur terus, kapan anak saya sembuh dan beraktivitas,” kata ayah Ningrum.

Jujur, saya terkejut mengetahui ayah Ningrum berpikiran seperti itu dan telah menghentikan obat sesuka dia.  Bahkan, ketika empat hari kemudian saya berkunjung ke rumah Ningrum, ada beberapa obat yang habis sebelum waktunya.

Ternyata si bapak ini orang yang rasa ingin tahunya sangat besar sehingga memberikan obat penenang tersebut ke istrinya, tetangga bahkan ke ternak sapinya. Luar biasa. Antara miris tapi juga lucu. Walhasil, satu butir penenang berhasil membuat sapi tidur dari sore hingga paginya, entahlah karena memang itu sudah waktunya sapi tidur atau karena obat yang dosisnya jelas beda jauh dengan berat badan sapi.

Oleh karenanya, penting untuk tenaga kesehatan melakukan kunjungan rumah dan terus memotivasi keluarga pasien. Termasuk di dalamnya memperbaiki anggapan yang salah tentang gangguan jiwa ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com