Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pentingnya Indonesia Terlibat dalam Penelitian Kanker Paru

Kompas.com - 19/10/2013, 08:32 WIB
Wardah Fajri

Penulis

KOMPAS.com - Indonesia layak diperhitungkan dalam setiap penelitian terkini untuk terapi kanker paru. Alasannya, bukan hanya karena populasi Indonesia besar yang berpotensi meningkatkan jumlah kasus kanker paru. Tapi, tersedianya pakar dan spesialis, juga fasilitas, membuat Indonesia layak masuk sebagai sampel penelitian.

Lantas apa pentingnya dengan masuknya Indonesia sebagai sampel penelitian dunia untuk kanker paru?  

Spesialis paru dan pernapasan yang juga Ketua Tim Kerja Paru RS Kanker Dharmais, dr A Mulawarman Jayusman, SpP(K) mengatakan pengobatan kanker paru terus mengalami perkembangan. Para pakar terutama peneliti dunia tak henti mencari solusi terbaik untuk memberikan terapi lebih maksimal, efektif, dan minim efek samping bagi penderita kanker paru. Utamanya kanker paru tipe paling umum diderita Non Small Cell Lung Cancer.

Dengan terlibatnya Indonesia dalam penelitian, pasien kanker paru di Indonesia berkesempatan mendapatkan terapi lebih efektif. Obat yang diciptakan untuk perawatan kanker paru, khasiatnya akan lebih efektif, jika pasien kanker paru Indonesia terlibat sebagai sampel penelitian. Alhasil, pengobatan kanker paru pun akan mampu mengurangi efek samping yang biasa dialami penderita saat dalam terapi. Selain memperpanjang peluang hidup pasien.

"Selama ini, penelitian mengenai obat kanker paru hanya terjadi di Amerika Serikat atau Eropa. Padahal ras mereka sebagai orang Kaukasia berbeda dengan orang Asia. Apakah sama hasil akhir dari pengobatan kanker paru pada orang Eropa, Amerika dan Asia, ini yang dipertanyakan? Dosis dan sensitivitasnya akan berbeda," ungkapnya kepada Kompas Health di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Obat kanker paru yang terus berkembang menyesuaikan kebutuhan, sebenarnya terbukti lebih sensitif pada orang Jepang atau Asia ketimbang Amerika, kata Mulawarman. Selain juga lebih efektif khasiatnya pada perempuan dibandingkan laki-laki, termasuk pada perokok penderita kanker paru.

Jika Indonesia dilibatkan dalam penelitian obat kanker paru, tentu dampaknya akan lebih optimal lagi untuk terapi pasien. Setidaknya tidak akan terjadi penyebaran kanker di tubuh pasien selain mencegah kanker membesar.

"Percepatan pertumbuhan kanker lebih dominan dibandingkan terapinya. Karenanya satu tindakan harus diikuti tindakan lainnya," terang Mulawarman.

Harapan lain dari keterlibatan Indonesia dalam penelitian dunia adalah, tersedianya terapi obat yang minim efek samping untuk pasien kanker paru.

"Diharapkan kita mendapatkan obat yang tidak banyak efek sampingnya, tidak ada infeksi, pasien tidak harus ke rumah sakit karena cukup tertangani dengan terapi obat, atau kalau pun harus diinfus saat menjalani kemoterapi di rumah sakit, tidak muncul rasa sakit. Juga mengurangi efek samping kemoterapi, seperti hanya sedikit kebotakan atau mualnya," tuturnya.

Menurut Mulawarman, meski kemoterapi masih sangat diandalkan dalam terapi kanker paru, obat termutakhir yang lebih mudah dikonsumsi juga diperlukan.

Ia menjelaskan, kanker menyebar dengan banyak cara. Namun dengan kemajuan penelitian yang menghasilkan terapi termutakhir, penyebaran kanker bisa di-blok dengan berbagai versi. Selain temuan obat termutakhir, penelitian di dunia medis juga terus mengembangkan kemoterapi untuk memberikan perawatan lebih efektif dan menyenangkan bagi pasien.

"Kadang pasien memang harus diinfus, jadi kemoterapi tetap diberikan, obat juga diberikan," ungkapnya.

Sementara, terapi kanker paru yang masih berjalan hingga kini di antaranya adalah EGFR Targeted Therapy. Dengan terapi ini, obat bisa menekan pertumbuhan kanker langsung pada target organnya.

Terapi obat yang termutakhir akan terus dibutuhkan dalam perawatan kanker paru. Karenanya, penting bagi Indonesia untuk bisa terlibat dalam penelitian terkini terapi kanker di tingkat dunia.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau