KOMPAS.com - Program JKN 2014 mungkin tak sempurna di awal pelaksanaannya. Meksi begitu, asuransi sosial ini tetap harus dilaksanakan, demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
Menurut pengamat kebijakan kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) Hasbullah Thabrany, salah satu indikasi ketidaksempurnaan ini tampak dari penetapan besaran penerima bantuan iuran (PBI) dan iuran premi yang harus dibayar.
“Mungkin memang tidak ideal. Namun JKN 2014 tetap harus berjalan dan perlahan memperbaiki diri hingga 2019,” kata Thabrany pada seminar Tinjauan dan Kaleidoskop Kesehatan 2013 yang diselenggarakan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (PKEKK FKM UI) di Jakarta pada Rabu (18/12/2013).
Saat ini nilai bantuan untuk penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp. 7 ribu per orang per bulan, yang berlaku bagi 86 juta jiwa masyarakat Indonesia. Sedangkan untuk besaran iuran premi adalah Rp. 19.225 per orang per bulan.
Hal yang sama terjadi untuk biaya kapitasi yang diterima Puskesmas. Besaran biaya kapitasi bervariasi antara Rp. 3 ribu sampai Rp. 6 ribu per orang. Jumlah ini masih dibawah jumlah kapitasi yang diterima dokter atau klinik sebesar Rp. 8 ribu sampai Rp. 10 ribu.
Kondisi ini, menurut Hasbullah diharapkan lebih baik pada 2015 mendatang. "Untuk PBI nanti akan tambah sekitar 4-5 persen. Sehingga yang sebelumnya pemerintah mengeluarkan Rp. 7 trilyun – Rp. 8 trilyun, akan bertambah menjadi sekitar Rp. 10 trilyun," ujarnya.
Sedangkan untuk premi, menurut Hasbullah, pengelolaan bisa lebih maksimal bila pemerintah daerah mau ikut proaktif. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan pajak rokok sebesar 10 persen. Bila pendapatan dari pajak rokok sebesar Rp. 104 trilyun, maka ada kenaikan pendapatan sebesar Rp. 10 trilyun.
Dana tersebut kemudian 50 persen bisa digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan. Hasbullah mencontohkan, bila diperoleh Rp. 5 triyun maka 30 persen bisa digunakan untuk biaya promotif-preventif sedangkan 70 persen lainnya untuk biaya kuratif. Kuratif menurut pertimbangan Hasbullah masih mendapat porsi lebih besar sesuai karakter masyarakat. Hal ini tentu perlahan bisa diubah.
"Dengan cara ini sebetulnya layanan maupun tenaga kesehatan tidak perlu khawatir. Hampir semua negara tidak smooth pada awal pelaksanaan, namun dengan kerja keras semua bisa terlewati. Jangan sampai kita seperti Amerika yang terlambat menerapkan jaminan kesehatan," kata Hasbullah.
Biaya kapitasi dan iuran yang terlalu kecil ini juga dikatakan Direktur UPT Jamkesda Dinas Kesehatan, Theryoto. Selain dua hal tersebut, Theryoto juga mempermasalahkan perbedaan besaran harga paket yang diterapkan pada tingkatan rumah sakit A, B, C, dan D. Tingkatan rumah sakit yang semakin tinggi menyebabkan besaran harga paket semakin besar.
Kondisi, menurut Tedy, sangat berbahaya karena bisa saja rumah sakit tidak mau melakukan pemeriksaan yang menjadi kapasitasnya karena biaya yang terlalu kecil.
"Kalau begini nantinya muncul financial diagnosis. Yaitu pemeriksaan hanya didasarkan pada besarnya bayaran yang diberikan. Kalau bayarannya terlalu kecil, maka rumah sakit tidak akan melaksanakan walau kapasitasnya sesuai," katanya.
Karena itu, Tedy menyarankan pemerintah untuk meninjau ulang besaran paket harga maupun iuran. Terutama untuk Jakarta dengan beberapa rumah sakit memiliki spesifikasi tertentu, kendati tidak kelas A. Beberapa dokter di Jakarta juga praktek di berbagai tipe rumah sakit sekaligus.
“Jangan terlalu kaku menerapkan peraturan. Lihat dulu kondisi daerahnya. Sayang sekali kalau mayarakat tidak bisa diberikan pengobatan hanya karena biaya paket yang dibayar terlalu rendah, meski kapasitas rumah sakit tersebut mencukupi,” ujar Tedy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.