Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/10/2014, 16:27 WIB
Kontributor Malang, Yatimul Ainun

Penulis


MALANG, KOMPAS.com - Hingga kini, belum ada obat anti virus yang terbukti efektif untuk memberantas dan mencegah penyakit sindrom pernapasan akut Timur Tengah (Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus /MERS-CoV) dan ebola.

Hambatan utama antara lain karena pasien dengan gejala MERS harus dapat segera didiagnosa. Salah satunya dengan menggunakan alat Real-Time PCR (RTPCR). Hal itu disampaikan oleh Emiritus Professor dari Burnet Institute, Melbourne, Australia Prof Gregory Tannock, M.Sc., Ph.Di, dalam kuliah tamu bertema "Life Threatening Viral Infection: Epidemiology, Diagnosis, and Prevention" di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB), Kamis (16/10/2014).

Virus MERS itu pertama kali ditemukan di Saudi Arabia. MERS disebabkan oleh coronavirus yang menyerupai SARS, namun dengan beberapa perbedaan. "Gejala terjangkit virus MERS antara lain demam tinggi, batuk, pneumonia akut, sindrom gangguan pernapasan akut, kegagalan multi-organ, dan kematian," jelasnya.

Adapun virus tersebut diduga berasal dari kelelawar atau unta dan sudah menjangkiti populasi manusia sekitar setahun lalu, sebelum ditemukan kasus pertama. "Pada Agustus 2014 lalu, sudah terdapat 730 kasus dan 40-50 persen diantaranya meninggal dunia. Sampai saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah penyakit tersebut dan belum ada obat antivirus yang terbukti efektif," katanya.

Untuk itu, pasien dengan gejala MERS harus dapat segera didiagnosa, salah satunya dengan menggunakan alat Real-Time PCR (RTPCR).

Sementara itu virus ebola pertama diidentifikasi di Republik Demokratik Kongo pada tahun 1975. "Virus ini sangat mudah menular, hanya dengan sejumlah kecil virus saja sudah dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh multiple," kata pakar vaksin itu.

Adapun kriteria diagnosis untuk ebola menurut CDC, meliputi demam 38,60 C, nyeri kepala hebat, nyeri otot, diare, muntah, perdarahan yang tidak jelas penyebabnya dan adanya riwayat berkunjung ke daerah endemis atau kontak dengan penderita Ebola dalam 21 hari terakhir.

"Terapi Ebola hanya berupa terapi suportif seperti mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta belum ada terapi yang spesifik untuk penyakit ini," kata Tannock.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau