Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/10/2014, 15:00 WIB

KOMPAS.com - Dikaruniai anak dengan sindroma down (”down syndrome”) pada awalnya bisa membuat para orangtua berurai air mata. Namun dengan penerimaan dan jiwa besar, pengasuhan anak dengan sindroma down menjadi perjalanan yang menguatkan.

Enam tahun lalu, Dini Prihatini (43) menanti kelahiran anak ketiganya, Rizqy, dengan perasaan bahagia. Dengan masa kehamilan yang berjalan normal. Tak ada yang aneh di hari H. Proses melahirkan berlangsung lancar seperti dua kelahiran sebelumnya. Harapan Dini hanya satu, kelahiran si bungsu akan melengkapi kebahagiaan keluarga kecilnya.

Namun, seusai melahirkan, Dini tak kunjung dapat melihat si kecil. Pada hari kedua pasca kelahiran, Dini mendesak petugas medis mengantar si kecil ke kamarnya.

”Yang datang justru suami didampingi dokter anak yang membantu saya melahirkan. Dokter kemudian mengatakan kalau anak saya kemungkinan suspect down syndrome (DS),” ungkap Dini menceritakan peristiwa enam tahun lalu.

Dini dan suaminya pun bertangisan. ”Memang kami pernah mendengar tentang DS. Tapi enggak pernah menyangka kejadian ini akan menimpa kami,” kata Dini.

Beruntung dokter anak yang menjelaskan memberikan dukungan moral kepada Dini dan suami. ”Ini anak spesial. Allah menitipkan kepada ibu karena tahu ibu spesial,” ungkap Dini mengutip kalimat dokter.

Kalimat itu membuat Dini kuat dan mampu menerima keadaan dengan lebih positif. ”Kami menerima Rizqy apa adanya. Kami menangis karena khawatir dengan masa depan kami. Apakah kami akan sanggup merawatnya karena merawat anak DS tidak mudah, apalagi dengan segala keterbatasan,” kata Dini.

Tak terdeteksi

Aryani Saida (39) juga sama sekali tak pernah menyangka anak ketiganya, Tarra, akan lahir dengan DS. Yani - panggilannya-bahkan telah berulang kali memastikan kondisi Tarra sebelum lahir melalui USG 3 dimensi dan 4 dimensi. ”Dokter mengatakan semuanya baik-baik saja,” tutur Yani.

Rupanya Tuhan berkehendak lain. Ketika melihat wajah Tarra untuk pertama kali beberapa saat setelah melahirkan, Yani sudah bisa menebak jika ada yang tidak biasa dengan Tarra. ”Dalam pikiran saya terngiang-ngiang kata-kata down syndrome. Tapi saya tak tahu itu apa,” katanya.

Selama seminggu Yani memendam perasaan remuk di dadanya. Bahkan kepada suaminya. Yani merasa terpukul. Merasa menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Tarra. ”Apa salah dosaku. Kenapa mendapat cobaan seperti ini,” kenang Yani.

Didorong rasa ingin tahunya, Yani mencari informasi tentang down syndrome di internet. Hasil pencarian semakin menguatkan dugaannya. Tarra kemungkinan besar suspect down syndrome. Tes kromosom meyakinkan Yani.

Tekanan berat dirasakan Olivia Duhita (42) yang 15 tahun lalu melahirkan Ratri. Berbeda dengan Dini dan Yani yang memiliki anak DS pada anak ketiga mereka, Ratri adalah anak pertama Olivia.

”Lebih buruk lagi, dokter yang membantu melahirkan justru membuat saya semakin depresi. Tanpa basa-basi, dokter mengatakan, karena DS, kelak anak saya akan tumbuh dengan keterbelakangan mental dan hal-hal buruk lainnya,” kenang Olivia.

”Kemarahan” akibat tekanan yang dialami Olivia itu bertahan cukup lama. Dia kerap meradang saat membawa Ratri ke mal, dan ada orang yang menatap Ratri berlama-lama. ”Langsung saya damprat saja. Apa lihat-lihat,” kata Olivia dengan galak.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau