"Biaya yang dikeluarkan di seluruh dunia 6 miliar dollar. Itu sangat besar. Di Indonesia saja 300 juta dollar per tahunnya," ujar Joko di Balai Kota, Jakarta, Senin (15/6/2015).
Jumlah tersebut mewakili lebih dari sepertiga beban ekonomi akibat DBD yang dilaporkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Indonesia pun menjadi negara dengan beban ekonomi tertinggi akibat DBD di Asia Tenggara.
Bagaimana tidak, menurut WHO, pada rentang waktu 2001 hingga 2011 rata-rata terjadi 94.564 kasus dan 472 hingga 1446 orang diantaranya meninggal dunia per tahun. Bahkan antara tahun 2004-2010, Indonesia tercatat sebagai negara kedua dengan kasus DBD terbesar diantara 30 negara atau wilayah endemis DBD.
Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan dari Dinas Kesehatan, Widyastuti mengatakan, DBD telah menganggu produktivitas seseorang. "DBD banyak mengenai usia produktif. Termasuk anak usia sekolah. Kalau dia sakit kan minimal seminggu tidak sekolah. Akibatnya ada proses belajar mengajar yang terhenti. Merugikan ke anak maupun orangtua yang bekerja, jadi harus menunggui si anak di rumah sakit," terang dia
Di DKI Jakarta sendiri, pada Januari hingga awal Juni 2015 terdapat sekitar 3400 kasus DBD. Untuk itu, menurut Widyastuti perlu langkah pencegahan guna menurunkan kasus DBD. Salah satunya yaitu dengan adanya Juru Pemantau Jentik (Jumantik) di tiap rumah. Kemudian jangan lupa menutup, menguras, dan mendaur ulang tempat-tempat mudah bagi nyamuk untuk berkembang biak.