Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/08/2016, 16:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah rumah sakit mitra Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan sulit mendapat obat tertentu. Itu terjadi karena penerapan mekanisme satu pemenang tender per daerah. Hal itu menyebabkan pasien bisa mengalami komplikasi karena terapi tertunda.

Maka dari itu, rumah sakit mitra BPJS Kesehatan meminta sistem pengadaan sediaan farmasi lebih fleksibel. Pemenang tender pemasok sediaan farmasi di satu provinsi diharapkan lebih dari satu perusahaan untuk mengantisipasi jika gagal memenuhi stok.

Mekanisme satu pemenang tender per daerah mengakibatkan RS kesulitan mendapat obat saat stok habis. "E-katalog jadi buah simalakama. Karena memenangkan satu tender per wilayah, distribusi obat terkotak-kotak," ucap Ketua Umum Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia Supriyantoro, Kamis (25/8), dalam diskusi panel "Harapan, Kenyataan, dan Solusi Jaminan Kesehatan Nasional: Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Era JKN", di Jakarta.

Wakil Ketua Pengurus Perhimpunan RS Seluruh Indonesia Daerah Lampung yang juga Direktur RS Handayani, Djauhari Thalib, mencontohkan, ia kesulitan memenuhi kebutuhan infus ringer laktat (RL). Karena stok di industri farmasi yang mendapat tender di Lampung habis, pihaknya terpaksa membeli produk di luar katalog elektronik berbiaya mahal.

"Saya sebelum puasa pesan 10.000 botol RL langsung ke pembuatnya, tetapi hingga hari ini tak datang. Kami terpaksa membeli di luar itu," ujarnya.

Kapasitas terbatas

Masalah pemasok tunggal di satu provinsi jadi temuan dalam riset Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tentang obat era JKN.

Di tempat terpisah, Kepala Kelompok Kerja Kebijakan Jaminan Kesehatan TNP2K Prastuti Soewondo mengatakan, tak ada industri farmasi yang punya kapasitas untuk memenuhi kebutuhan nasional. Karena itu, tak mungkin dipilih satu pemasok.

Selain itu, industri farmasi perlu waktu minimal tiga bulan memproduksi obat hingga obat tersedia di pasar. Karena itu, obat kerap belum tersedia, terutama pada awal tahun berjalan.

Supriyantoro merekomendasikan, tak perlu ada penunjukan pemenang tender untuk penyediaan perbekalan farmasi di tiap provinsi. Jadi, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) memayungi kontrak, menetapkan harga berdasarkan negosiasi dengan industri farmasi, lalu memasukkan produk dan harga ke e-katalog.

Hal itu akan membuat ada lebih dari satu perusahaan menyediakan obat dengan senyawa aktif dan harga beragam. "Biarkan rumah sakit memilih. Untuk menghindari korupsi, perkuat pengawasan," ujarnya.

Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan Bayu Teja Muliawan memaparkan, usulan itu akan dibahas Kemenkes dengan LKPP, mengingat LKPP ialah lembaga berwenang terkait regulasi pengadaan. Namun, itu perlu perencanaan matang penggunaan sediaan farmasi oleh tiap fasilitas kesehatan agar rencana produksi industri farmasi sesuai kebutuhan.

Selama ini, rencana kebutuhan obat (RKO) RS swasta belum selengkap RS pemerintah. Penyusunan RKO setahun perlu keahlian mumpuni tenaga kefarmasian. "Dari total puskesmas, hanya 40 persennya punya tenaga kefarmasian," ucapnya.

Data Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes tahun 2016 menunjukkan, ada 507 dinas kesehatan, 500 RS pemerintah, dan 13 RS swasta menyerahkan RKO.

Namun, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Badan Pengawas Obat dan Makanan Tengku Bahdar Johan Hamid mengingatkan, harga obat yang ditekan berpotensi memicu produsen menurunkan mutu obat agar tak merugi.

Karena itu, harga yang ditetapkan LKPP harus menyeimbangkan dengan kebutuhan mutu obat, tak hanya mencari pemenang dengan harga terendah. (JOG/ADH)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Agustus 2016, di halaman 14 dengan judul "Benahi Pengadaan Obat JKN".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com