Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/08/2016, 13:00 WIB
Kontributor Health, Dhorothea

Penulis

Sumber Daily Mail

KOMPAS.com - Manjur tidaknya obat pereda nyeri ternyata bergantung selain pada dosis dan waktu minum, juga jenis kelamin. Hal ini karena hormon dan gen berpengaruh pada cara tubuh memetabolisasi obat.

Hal itu terungkap dalam penelitian baru. Mereka mengungkapkan banyak wanita diberi resep obat yang belum pernah secara khusus diuji pada tubuh perempuan.

Kaum wanita sering tak dilibatkan dalam uji klinis didasarkan asumsi obat itu berlaku untuk pria dan wanita. Dipercaya pula bahwa pereda nyeri baru bakal sama efektifnya untuk pria dan wanita.

Tetapi, semakin banyak ilmuwan yang mengatakan perbedaan hormon dan genetik mempengaruhi perilaku obat dalam tubuh. Artinya, obat mungkin bereaksi berbeda di tubuh laki-laki dan perempuan.

Dilaporkan dalam jurnal Cell Metabolism, gender harus diperhitungkan dalam uji klinis untuk membuat kemajuan dalam pengobatan.

Studi-studi sebelumnya membuktikan ibuprofen lebih efektif pada pria. Sedangkan wanita mengalami penurunan nyeri lebih besar dari pereda nyeri opioid.

Riset lain membuktikan wanita merespon lebih baik pada antidepresan SSRI sementara pria lebih baik merespon tricyclics.

Profesor Deborah Clegg dari Cedars-Sinai Hospital California mengatakan, "Saat ini ketika Anda periksa ke dokter, mungkin Anda diberi resep yang mungkin belum pernah diuji secara khusus terhadap wanita."

Hampir semua riset dasar, tak memandang riset itu melibatkan hewan percobaan atau manusia, umumnya percobaan dilakukan pada pria. "Kebanyakan riset dilakukan dengan asumsi secara biologi pria dan wanita itu sama," katanya.

Profesor Clegg mengatakan satu alasan wanita tak dilibatkan dalam studi karena kadar hormon seperti oestrogen dan progesteron berfluktuasi selama siklus menstruasi. Hal ini dapat berdampak pada studi. Karena itu mereka menggunakan responden pria.

Tetapi hormon berdampak pada semua proses biologi, termasuk sensitivitas terhadap asam lemak atau juga kemampuan memetabolisir gula sederhana.

Profesor Clegg mengatakan perbedaan itu berdampak pada uji klinis, termasuk pengujian efek obat atau kemampuan tubuh mentolerir transplantasi organ.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau