Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/09/2016, 14:00 WIB

BANYUWANGI, KOMPAS - Implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional terbebani kian banyak pasien sakit parah dan menahun. Hingga kini, subsidi silang belum banyak membantu menekan defisit pembiayaan kesehatan dalam program tersebut. Untuk itu, Kementerian Kesehatan perlu mengampanyekan hidup sehat.

Saat ini, menurut Menteri Kesehatan Nila A Moeloek, sekitar 80 persen peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus ditangani di rumah sakit, hanya 20 persen di antaranya yang dapat dirawat di puskesmas. Mereka menderita penyakit katastropik, penyakit berbiaya tinggi, dan secara komplikasi bisa membahayakan nyawa pasien.

Sejak program JKN dijalankan, hingga Januari 2016, lima penyakit terkait merokok menempati lima besar penyakit dengan klaim terbesar yang harus dibayar pemerintah ke beberapa rumah sakit dalam sistem Indonesia Case Base Groups (Kompas, 29 Juli 2016).

Lima penyakit itu, sesuai data Kementerian Kesehatan, mulai dari urutan pertama terbesar besaran klaim: penyakit jantung (Rp 6,9 triliun), kanker (Rp 1,8 triliun), stroke (Rp 1,5 triliun), dan diabetes melitus (Rp 1,2 triliun. Sementara dana iuran JKN yang terserap untuk penanganan gagal ginjal Rp 2,5 triliun. "Biayanya hampir Rp 1 juta per pasien, dalam satu bulan ada 2.000 kasus baru," kata Nila, saat berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (14/9) malam.

Hal itu terjadi karena pembangunan kesehatan mengedepankan aspek pengobatan, seperti pada JKN. Sementara aspek promosi dan pencegahan penyakit untuk meningkatkan derajat kesehatan warga tertinggal.

"Tanpa perbaikan untuk menyeimbangkan fokus, itu membebani anggaran yang mengancam keberlanjutan JKN," kata konsultan penguatan sistem kesehatan yang juga mantan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ascobat Gani (Kompas, Sabtu, 30 Juli 2016).

Dari sisi anggaran, dua aspek itu terus naik. Namun, kenaikan di aspek kenaikan derajat kesehatan warga amat kecil. Tahun 2015, anggaran Kemenkes untuk kesehatan warga, termasuk pencegahan penyakit, yang sebesar Rp 1,4 triliun naik menjadi Rp 2,4 triliun pada 2016.

Sebagai perbandingan, besaran APBN untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang lebih dari Rp 40 triliun per tahun masih defisit dan harus ditalangi negara. Tahun 2014, defisit BPJS Kesehatan Rp 3,3 triliun. Tahun 2015, defisit Rp 5,6 triliun, diprediksi naik lagi jadi Rp 6,8 triliun pada 2016.

Pencegahan penyakit

Tanpa aksi nyata peningkatan derajat kesehatan warga, defisit dana pengobatan penyakit akan membengkak. Apalagi, kepesertaan JKN baru sekitar 60 persen dari jumlah total penduduk. Untuk itu, menurut Nila, hal pertama yang dilakukan ialah menjaga kesehatan warga. Kedua, menjadikan puskesmas sebagai tempat perawatan menyeluruh.

Sejumlah daerah telah memulai langkah positif untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Payakumbuh, Sumatera Barat, misalnya, memprioritaskan kesehatan lingkungan dibandingkan upaya pengobatan.

Pemerintah daerah setempat membuka akses air bersih bagi warga. Hasilnya, jika sebelumnya 10 persen dari jumlah penduduk mendapat akses air bersih, kini 90 persen warga bisa mengakses air bersih. "Pemerintah melarang warga buang air besar di kolam ikan sehingga ikan yang dihasilkan bermutu baik," ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Widji Lestariono mengatakan, Banyuwangi juga menerapkan program arisan jamban yang dipelopori Puskesmas Tampon, Banyuwangi. Penggunaan jamban menurunkan angka kasus penyakit akibat lingkungan. Jika angka kasus kesakitan akibat lingkungan buruk 35 persen pada 2013, pada 2015 turun jadi 18 persen.

Menurut Nila, puskesmas diharapkan menjadi garda utama menangani masalah kesehatan masyarakat. Ada 155 jenis penyakit bisa ditangani puskesmas. Namun, saat ini, terjadi penumpukan pasien di RS tipe A dan tipe B, padahal ada beberapa penyakit bisa diselesaikan di RS tipe B ataupun puskesmas.

Dokter spesialis di rumah sakit tipe A akhirnya mempunyai banyak pasien. Kondisi itu menyebabkan dokter spesialis hanya mempunyai sedikit waktu untuk melaksanakan riset dan menangani kasus yang memerlukan keahlian khusus.

Untuk itu, para dokter di puskesmas dituntut memiliki kemampuan untuk menangani 155 penyakit. Dokter yang bertugas di puskesmas juga diharapkan menjadi dokter keluarga, karena keluarga pasien di puskesmas perlu dipantau kesehatannya. "Beri obat yang terjangkau harganya lebih dulu. Kalau dengan obat murah bisa sembuh, mengapa harus mahal," ujarnya. (NIT)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2016, di halaman 13 dengan judul "Beban JKN Berat, Banyak Pasien Sakit Parah".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau