JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga tahun penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional masih menemui sejumlah masalah. Salah satunya adalah ketersediaan obat yang tidak lengkap dan pasien masih harus membayar obat-obatan sendiri.
Dalam studi yang dilakukan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, terungkap sebanyak 42 persen responden masih mengeluarkan biaya pribadi untuk pelayanan kesehatan.
Sekitar 4 persen responden di pelayanan primer mengeluarkan biaya pribadi rata-rata Rp 59.000. Sementara itu, pasien di rumah sakit yang mengeluarkan biaya pribadi untuk obat mencapai 20 persen, rata-rata Rp 128.000 untuk rawat jalan dan Rp 856.000 untuk rawat inap.
Sekitar 33 persen responden yang mengeluarkan biaya pribadi di rumah sakit karena ketersediaan obat kosong, sementara 33 persen lain karena obat yang diresepkan tidak ditanggung oleh BPJS kesehatan.
"Obat masih jadi aspek keluhan terbesar karena kompleksitasnya. Urusannya tidak cuma rumah sakit dengan pasien seperti halnya ruang perawatan, tapi juga ada industri, tender, katalog elektronik, kementrian kesehatan, dan sebagainya," kata Prof.Hasbullah Tabrani dalam acara Kalaidoskop 2016 bertema Wajah Pelayanan Obat JKN di Jakarta (22/12/2016).
Penelitian tersebut dilakukan pada 908 peserta JKN yang tersebar di 13 provinsi. Desain studi dilakukan melalui telepon menggunakan kuesioner terstruktur.
Provinsi responden yang mengeluarkan biaya pribadi untuk obat paling tinggi terdapat di Sulawesi Selatan (78,6 persen), Jawa Barat (54,3 persen), dan Jawa Tengah (50 persen).
Sebagian besar (85,2 persen) responden yang mengeluarkan biaya pribadi untuk obat mempunyai riwayat penyakit kronis.
Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kementrian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene, mengakui di tahun 2016 memang lebih banyak masalah dalam hal pengadaan obat.
"Memang banyak obat yang belum masuk formularium daftar obat, tetapi ada mekanisme bagi rumah sakit dan dinas kesehatan boleh mengirimkan usulan perubahan daftar obat. Setiap usulan harus dilengkapi oleh evidence based dan nanti akan dibahas di Kemenkes dengan melibatkan organisasi profesi," kata Engko.
Beberapa obat yang sering tidak tersedia antara lain obat-obatan untuk penyakit tertentu yang jarang, misalnya obat kemoterapi.
Engko menjelaskan, sejumlah perbaikan sudah dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak untuk mencegah kelangkaan obat di masa datang.
Hasbullah menambahkan, kepentingan pasien seharusnya menjadi prioritas. "Rumah sakit sudah dibayar secara borongan oleh BPJS Kesehatan, seharusnya beli saja obat walau tidak terdapat dalam e-katalog. Yang penting obatnya tersedia bagi pasien yang membutuhkan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.