Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/02/2017, 11:18 WIB
Kontributor Health, Dhorothea

Penulis

Sumber time.com

KOMPAS.com - Situasi politik yang tidak menentu, persaingan keras antar pendukung salah satu pasangan calon pemimpin, dan kampanye negatif, menjadi sumber stres baru di masyarakat.

Gejala stres itu bisa dilihat dari timbulnya rasa cemas, sedih, panik, dan juga marah, baik skala ringan atau berat, selama masa kampanye yang memecah belah antar warga.

Di Amerika Serikat, stres selama masa kampanye ternyata juga berlanjut setelah terpilihnya Presiden Donald Trump.  Laporan baru yang dirilis oleh American Psychological Association (APA) menemukan, 57 persen orang AS menyebut hasil pemilu bikin mereka stres.

Dalam laporan itu yang merupakan bagian dari studi tahunan stres APA di Amerika, 1.019 orang dewasa disurvei, termasuk kaum Republikan dan Demokrat terdaftar. Sebanyak 72 persen Demokrat menyebutkan hasil pemilu merupakan sumber stres besar sementara 26 persen Republikan menyebutkan hal sama.

Tetapi, secara keseluruhan dua pertiga masyarakat mengaku stres dengan masa depan negara mereka, termasuk hampir 60 persen Republikan dan 76 persen Demokrat.

Survei tersebut mengukur pula aspek-aspek lain stres. Dari Agustus 2016 ke Januari 2017, stres terhadap aksi terorisme meningkat dari 51 persen menjadi 59 persen, stres terhadap kekerasan polisi kepada kaum minoritas meningkat dari 36 menjadi 44 persen dan stres terhadap keamanan pribadi meningkat dari 29 menjadi 34 persen.

APA mengatakan ini persentasi tertinggi warga Amerika melaporkan stres terhadap keamanan pribadi sejak mereka menyebarkan survei pada 2008.

"Masyarakat melaporkan mereka merasa tegang terus menerus," kata Kathleen Gildea, seorang psikoterapis berlisensi dari Atlanta yang tak terlibat dalam survei APA tersebut. "Banyak orang bilang takut dengan apa yang terjadi selanjutnya," lanjutnya. Ia mengatakan di beberapa kasus, stres politik membayangi alasan-alasan asli kliennya datang untuk berkonsultasi kepadanya.

APA khawatir kadar stres terus menerus di kalangan warga Amerika itu dapat berarti sesuatu bagi kesehatan masyarakat. Dalam survei tersebut, persentase orang yang melaporkan paling tidak satu gejala kesehatan karena stres naik dari 71 persen pada Agustus menjadi 80 persen di Januari.

Gejala yang dilaporkan meliputi sakit kepala, gelisah atau cemas, merasa kewalahan atau depresi atau sedih.

Untuk mengatasi stres, Bufka merekomendasikan membatasi waktu yang dihabiskan untuk membaca berita dan media sosial serta membangun cara mengatasi stres.

"Kebiasaan-kebiasaan sehat yang menjaga tubuh dan jiwa itu penting. Tidur cukup, olahraga teratur, pola makan sehat, menjaga relasi emosi dan sosial adalah hal-hal yang membuat perbedaan besar dalam hal mengatasi stres," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau