KOMPAS.com - Rabu (18/12/2019) Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan, hampir 30.000 babi di Sumatera Utara mati karena wabah demam babi Afrika atau flu babi Afrika.
Menanggapi hal ini, pemerintah tampak serius menangani temuan kasus kematian babi atau penyakit dengan gejala African Swine Fever (ASF) tersebut.
Melansir dari Kompas.com (20/12/2019), Pemerintah telah menyiapkan anggaran APBN sebesar Rp 5 miliar, dengan alokasi mendukung kegiatan operasional gabungan penanganan kasus di lapangan.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita, meminta masyarakat jangan menangani temuan kematian babi dengan membuang ke lingkungan atau sungai.
Penanganan terbaik kasus virus demam babi ini yakni dengan penerapan prinsip-prinsip biosekuriti seperti disposal, penguburan, standstill order, disinfeksi, pengawasan lalu lintas peternakan babi dan produknya, pelarangan swill feeding, sosialisasi dan pelatihan.
Melihat keseriusan Pemerintah dalam menangani penyebaran ASF ini, lalu apa sebenarnya risiko bahaya virus demam babi Afrika bagi kesehatan manusia?
Bisakah menular pada manusia?
Melansir dari www.oie.int laman resmi World Organization For Animal Health, ASF tidak berisiko bagi kesehatan manusia.
Namun, penyerbaran virus ini dapat merugikan warga secara materiil.
ASF merupakan penyakit pendarahan yang sangat menular pada babi domestik dan liar. Tingkat kematian babi terinveksi virus ini bahkan bisa mencapai 100 persen.
Oleh sebab itu, penyebaran virus ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan produksi yang serius.
Penyakit ini disebabkan oleh virus DNA besar dari keluarga Asfarviridae, yang juga menginfeksi kutu dari genus Ornithodoros.
Sementara itu, melansir dari laman resmi Food and Agriculture Organization (FAO), ASF didefisisikan sebagai penyakit hewan fatal yang menyerang babi dan babi hutan dengan tingkat kematian mencapai 100 persen kasus.
Laman resmi European Food Safety Authority, menyebutkan, belum ada vaksin untuk menyembuhkan penyakit ini.
Maka dari itu, virus ASF dapat begitu mempengaruhi kehidupan sosio-ekonomi masyarakat di negara-negara yang terinfeksi virus ini.
Transmisi dan penyebaran
Epidemiologi dari demam babi Afrika tergolong kompleks dan bervariasi.
Hal itu tergantung pada kondisi lingkungan, jenis sistem produksi babi, perilaku manusia, dan keberadaan babi liar.
Menurut World Organization For Animal Health, ada beberapa cara penularan virus ASF ini, yakni sebagai berikut:
Gejala klinis
Gejala-gejala klinis dan tingkat kematian bergantung pada jenis virulensi virus dan spesies babi.
Berikut ini beberapa jenis gejala klinis serangan virus ASF:
Diagnosis
ASF dapat dicurigai berdasarkan tanda-tanda klinis, namun untuk lebih memastikannya lebih baik melakukan tes laboratorium.
Panduan tentang tes diagnosis untuk ASF dapat ditemukan dalam Manual Tes Diagnosis dan Vaksin untuk Hewan Terestrial.
Pencegahan dan kontrol
Saat ini belum ada vaksin yang untuk ASF. Pencegahan di negara-negara yang bebas dari penyakit tergantung pada penerapan kebijakan impor yang tepat dan langkah-langkah biosekuriti.
Selain itu, warga harus memahami prosedur pemotongan hewan yang benar, seperti membuang limbah dengan layak layak, dan melakukan pembersihan secara menyeluruh.
Sumatra Utara
FAO mencatat daerah di Indonesia yang terkena dampak penyebaran virus demam babi Afrika, yakni di Provinsi Sumatra Utara.
Menteri Pertanian telah mengonfirmasi terjadinya wabah ASF di Provinsi Sumatra Utara pada 12 Desember 2019.
Sejak akhir September, peningkatan angka kematian babi telah dilaporkan di Sumatra Utara dan beberapa provinsi lain.
Kementerian Pertanian telah meminta FAO untuk memberikan rekomendasi tentang pengendalian dan pengendalian demam babi Afrika (ASF).
Tim FAO sedang menyusun rekomendasi tentang kontrol ASF, sesuai dengan kondisi di Indonesia.
https://health.kompas.com/read/2019/12/20/130000168/30.000-babi-di-sumut-mati-akibat-demam-babi-afrika-bisakah-menular-pada