Sekiranya sang surya telah memancarkan teriknya, anak bungsu dari pasangan Pawono (55) dan Erlina Ermawati (43) itu diminta untuk segera mencari tempat berlindung.
Jika tak melakukan antisipasi tersebut, kulit Ramneya biasanya akan terasa seperti terbakar. Dia juga bakal menderita nyeri sendi di sekujur tubuh.
Oleh sebab itu, di sekolah pun Ramneya harus membatasi kegiatannya. Dia terpaksa tak boleh ikut beberapa aktivitas olahraga di luar ruangan.
Selain itu, Ramneya juga tak dianjurkan untuk turut serta dalam kegiatan pramuka maupun drumband meski dia sangat ingin mengikutinya.
Ramneya mulanya sedih menerima batasan-batasan tersebut. Dia merasa tak bisa leluasa bermain dan belajar seperti teman-teman sebayanya.
Namun lambat laun, bocah itu sudah menyadari jika dirinya adalah penyintas lupus atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Dia berkomitmen akan selalu mendengarkan setiap nasihat orangtua.
“Pokoknya sekarang Ramneya nurut sama Bapak Ibu biar enggak sakit lagi,” jelas Ramneya saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jumat (28/2/2020).
Ramneya merasa beruntung kini tak lagi harus terus-menerus minum obat. Hal itu dikarenakan, dirinya sudah dinyatakan masuk masa remisi sejak tahun 2017 lalu.
Masa remisi adalah masa di mana orang dengan lupus (odapus) tidak memerlukan obat. Pada masa ini, odapus terpantau dalam keadaan stabil.
Meski demikian, Ramneya tetap saja diminta untuk menjaga kondisi tubuh. Hal itu penting mengingat suatu saat nanti lupus bisa kembali aktif.
Selain menghindari terik matahari terlalu lama, Ramneya juga diminta untuk tidak jajan sembarangan. Dia pun mengaku terkadang protes kepada sang ibu karena dilarang jajan. Tapi, upayanya tersebut lebih sering gagal.
Sang ibu maupun sang ayah selalu melarang Ramneya jajan makanan yang mengandung bahan penyedap rasa dan pengawet. Dia pun hingga kini hampir selalu makan makanan yang dibuat atau disiapkan oleh ibunya, Lina.
"Makanan Ibu enak kok, hehehe," kata Ramneya ketika dimintai komentar mengenai larangan jajan dan harus makan makanan bikinan sang ibu.
Meski serba terbatas, Ramneya tak patah semangat. Dia kini telah menyadari jika tak mungkin sembuh dari lupusnya. Ramneya hanya bisa mencegah agar gejala penyakitnya tersebut tak lagi kambuh.
Bahkan, karena penyakitnya itu, dia kini memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Ramneya berharap mempunyai kemampuan untuk bisa menolong para penyintas lupus lainnya.
"Kasihan dengan adik-adik (penyintas lupus yang berusia lebih muda darinya)," kata Ramneya menjawab soal alasan ingin jadi dokter.
Sejak bergabung dengan Yayasan Tittari Solo, Ramneya kerap diajak oleh sang ibu ikut menghadiri pertemuan dengan para penyintas lupus lain. Dari situlah, dia bertemu juga dengan para penyintas lupus yang juga masih anak-anak, bahkan lebih kecil.
Karena telah memasuki masa remisi, tidak jarang Ramneya pun oleh pengurus Yayasan Tittari Solo, diminta untuk bercerita mengenai pengalamannya melawan lupus.
Dia juga kerap diajak tampil di hadapan publik saat digelar acara tertentu, seperti peringatan Hari Lupus Sedunia di rumah sakit maupun tempat umum lainnya. Ramneya dipersilakan untuk tampil menari.
"Semoga yang lain juga bisa segera tidak harus minum obat," harap Ramneya.
Saat diwawancarai, ibu Ramneya, Lina, masih ingat jika anaknya itu didiagnosis menderita lupus pada Desember 2015. Dia bercerita, awalnya di bulan Mei 2015, Ramneya harus masuk ke Rumah Sakit karena mengalami gejala tipes.
Beberapa hari setelah itu, kondisinya sempat membaik. Namun sebulan kemudian, Ramneya ternyata didiagnosis mengidap tipes lagi dan harus kembali menginap di RS.
Sama seperti sebelumnya, Ramneya sempat dinyatakan sembuh. Tapi, dua bulan kemudian, pada Juli 2015, dia harus masuk ke RS lagi dengan keluhan yang sama, yakni mangalami panas, mimisan, sariawan, dan demam seperti gejala demam berdarah dengue (DBD).
Sebulan lagi, dia giliran dinyatakan menderita vaskulitis, yakni peradangan pada pembuluh darah yang menyebabkan perubahan pada dinding pembuluh darah. Perubahan yang terjadi pada Ramneya salah satunya munculnya luka di kulit.
Sebulan kemudian, kata Lina, Ramneya malah didapati mimisan selama tiga jam tidak berhenti. Akhirnya, dia pun dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi Solo selama 2 bulan pada November sampai Desember 2015.
"Dua Minggu setelah masuk RS, Ramneya baru terdeteksi alami lupus. Dia pun harus rutin konsumsi obat dan menjalani kemoterapi," jelas Lina.
Lina mengatakan mulanya Ramneya menjalani kemoterapi sekali seminggu. Setelah enam bulan kemudian, dia ganti harus kemoterapi sebulan sekali dan dilanjut tiga bulan sekali. Lina bersyukur Ramneya hanya perlu waktu 2 tahun untuk bisa masuk masa remisi.
"Dulu dia harus jalani kemoterapi, jam 6 sore tindakan pasang infus lalu jam 12 malam masuk obat sampai jam 6 pagi. Saya kasihan kalau harus mengingatnya," tutur Lina.
Pentingnya berkomunitas
Lina menilai RSUD Dr. Moewardi sangat bagus dalam pelayanan kepada para penyintas lupus. Dia menyaksikan, para dokter begitu memerhatikan Ramneya. Ketika dia menyampaikan keluhan sedikit saja yang dialami Ramneya, dokter langsung mengecek semua kondisi anaknya.
Dia juga merasa sangat terbantu dengan adanya Yayasan Tittari Solo. Lina mendapat banyak dukungan secara moril maupun materiil dari para pengurus maupun anggota Yayasan lainnya selama mendampingi Ramneya.
Oleh karena itu, dia pun merasa senang jika Ramneya diundang untui ikut menyemarakan acara yang diadakan Yayasan. Dia berharap Ramneya bisa menginspirasi para penyintas lupus lainnya.
Lina tak menampik jika mendampingi odapus adalah tugas yang cukup berat. Namun, menurut dia, jerih payah tersebut rasanya tak sebanding dengan kesulitan yang dialami oleh para penyintas lupus itu sendiri.
Maka dari itu, Lina merasa begitu gembira ketika Ramneya bisa tersenyum dan menjalani aktivitas seperti anak-anak lainnya. Dia bercerita, meski telah memasuki masa remisi, Ramneya masih diberi obat herbal untuk mendukung staminanya. Lina ingin Ramneya bisa
Sementara itu, Dokter Spesialis Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi, dr. Arief Nurudhin, Sp.Pd, menerangan penyakit lupus adalah penyakit autoimun kronis yang menyebabkan radang multisistem akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ yang penyebabnya belum diketahui secara jelas.
"Jadi lupus ini penyakit yang menyerang seluruh organ tubuh, dari ujung kaki hingga kepala. Lupus juga dikenal sebagai penyakit seribu wajah karena bisa dikenal sebagai penyakit lain. Bisa panas yang tidak turun-turun, ternyata lupus. Bisa nyeri sendi yang tidak sembuh-sembuh, ternyata lupus. Bisa sariawan tidak sembuh-sembuh ternyata lupus," kata dia.
Terkait kasus, Arief menuturkan, jumlah orang dengan gejala lupus yang memeriksakan diri ke RSUD dr. Moewardi terus meningkat dari tahun ke tahun. Dia yakin peningkatan jumlah itu adalah indikasi atas kesadaran dan pemahaman masyarakat akan lupus yang kian naik.
“Peningkatan itu semoga bukan karena makin banyak penderita lupus, tapi sebagai tanda bahwa masyarakat kian paham untuk memeriksakan diri dengan gejala-gejala yang timbul sebagai penyakit lupus,” kata Arief.
Arief mengatakan pertemuan antaraodapus sangat penting dilakukan untuk kebaikan para penyintas lupus. Selain itu perlu juga dilakukan oleh odapus atau keluarga odapus untuk menjalin relasi dengan para pemerhati penyakit lupus. Menurut dia, hal itu penting sebagai upaya untuk saling memberikan pandangan tentang upaya terbaik menghadapi penyakit lupus.
Imunisasi pengidap lupus
Ketua Yayasan Tittari Solo, Winjani Prita Dewi, berharap pemerintah bisa memberikan perhatian lebih besar kepada persoalan lupus, seperti kepada kanker, HIV/AIDS, ataupun thalasemia. Dia merasa, khususnya di Solo, lupus masih sering dianggap hal kecil yang tidak berbahaya.
Prita membandingkan, pada akses ambulans gratis misalnya. Dia menganggap, penyintas kanker lebih mudah memperoleh bantuan tersebut ketimbang penyintas lupus. Banyak pihak yang ditemui merasa asing dengan penyakit lupus.
Selain itu, Prita berharap para penyintas lupus mendapat dukungan fasilitas seperti rumah singgah, termasuk alat kesehatan (alkes) yang dapat dipinjamkan ke pasien.
"Pernah juga kami menyusun proposal penggalangan dana, tapi respons dari pihak yang kami temui kurang antusias. Secara fisik kami memang tidak semua tampak memprihatinkan, jadi mungkin dianggap tidak perlu bantuan," keluh Prita.
Prita menilai belum banyak orang mengetahui apa itu lupus. Padahal penyakit ini bisa sangat berbahaya dan mematikan. Lupus sendiri hingga saat ini belum ada obatnya. Jadi mereka yang terkena, tingkat kesembuhannya bisa dibilang 0 persen.
Bahkan, Prita menyebut para odapus masih mengalami kebimbangan terkait pemberian imunisasi seperti yang dibutuhkan orang pada umumnya. Menurut dia, beberapa penyintas autoimun menolak imunisasi karena vaksi dikhawatirkan malah akan memicu autoimunitas yang pada akhirnya menyebabkan flare pascavaksin.
Tapi, ada juga yang menganggap vaksin adalah sebuah mekanisme perlindungan dengan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Jadi, vaksin tidak mendorong respons imun sekuat pada infeksi alami, sehingga kecil kemungkinan vaksinasi dapat memicu autoimunitas.
"Namun memang, pada penyintas autoimun ada beberapa kasus yang justru jadi autoimunnya aktif, terutama yang masih rutin mengonsumsi obat-obatan immunosupressan dan kondisinya belum stabil," terang Prita.
Prita menyampaikan secara umum ada jenis vaksin yang memang tidak boleh diberikan pada pasien autoimun. Tapi ada pula vaksin yang tetap boleh dilakukan. Jadi solusi untuk vaksin akhirnya kembali lagi, sebaiknya pasien melakukan konsultasi dulu dengan dokter.
"Biasanya jika kondisinya stabil, vaksin bisa dilakukan pada odapus," jelas Prita.
Kebimbangan pemberian vaksi pada odapus dewasa juga terjadi pada penyintas lupus anak. Dia berpendapat, pada prinsipnya vaksin hidup tidak boleh diberikan kepada odapus. Pada anak misalnya adalah MMR dan meningitis.
Sementara, Dokter Spesialis Penyakit Dalam lain di RSUD Dr. Moewardi, dr. Agus Joko Susanto, SpPD, K-AI, FINASIM, juga menjelaskan pemberian imunisasi pada pengidap penyakit autoimun tetap direkomendasikan, terutama untuk imunisasi dengan vaksin yang bukan hidup atau live attenuated virus.
Mengingat pengidap penyakit autoimun rentan terjadi infeksi, pemberian imunisasi dengan vaksin hidup memang perlu hati-hati dan kewaspadaan tinggi. Salah satu contoh vaksinnya, yakni vaksin MMR untuk melawan gondong, campak, dan rubella.
Vaksin MMR yang termasuk vaksin hidup masih memungkinkan untuk diberikan kepada pengidap penyakit autoimun, meski tubuh mereka mengalami gangguan sehingga rentan mengelami infeksi akibat serangan kuman, virus, dan mikroba yang masuk ke dalam tubuh
Namun, beberapa penyakit autoimun pernah dilaporkan terjadi kejadian ikutan setelah pemberian imunisasi, seperti kejadian radang sendi pascaimunisasi tifoid dan MMR.
Sementara itu, terkait pertanyaan apakah imunisasi dapat memicu kejadian penyakit autoimun atau tidak? Agus menjawab, masih menjadi perdebatan.
Di sisi lain, infeksi masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada pasien autoimun. Pemberian terapi antibodi monoklonal pada penderita autoimun yang diikuti dengan pemberian vaksin hidup dapat menyebabkan reaktivasi dari infeksi tuberkulosis laten, dan memicu timbulnya infeksi oportunistik yang lain.
Dengan menimbang risiko dan keuntungan, Agus berpendapat, pemberian imunisasi MMR tentu lebih baik dan dianjurkan diberikan pada saat kondisi penyakit autoimun sudah stabil atau tidak sedang mengalami perburukan gejala penyakit autoimun.
Selain itu, dosis obat yang dikonsumsi oleh pengidap penyakit autoimun mesti minimal.
https://health.kompas.com/read/2020/02/28/233751468/kisah-ramneya-gadis-12-tahun-yang-tak-gentar-lawan-keterbatasan-akibat-lupus