SOLO, KOMPAS.com – Kota Solo, Jawa Tengah (Jateng) dalam beberapa tahun terakhir berhasil menekan prevalensi angka kejadian stunting pada bayi di bawah dua tahun (baduta) tidak lebih dari 5 persen.
Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo mencatat angka kejadian stunting baduta pada 2018 hanya mencapai sekitar 3,2 persen atau ditemukan 358 baduta yang mengalami stunting.
Sementara, pada 2019, prevalensi baduta stunting di Solo turun sebanyak 1,81 persen menjadi 1,39 persen. Pada tahun tersebut, terhitung ada sekitar 319 baduta dengan stunting.
Sedangkan pada 2020, angka kejadian stunting baduta naik sedikit menjadi 1,76 persen.
Tapi, dari segi jumlah, baduta dengan stunting pada 2020 masih tergolong lebih rendah ketimbang pada 2019, yakni ada 306 baduta yang didiagnosis menderita stunting.
Untuk kategori bayi usia di bawah 5 tahun (balita), DKK mencatat, prevalensi angka kejadian stunting balita pada 2020 masih tidak lebih dari 10 persen, tepatnya 8,45 persen atau ada sekitar 1.015 balita dengan stunting.
Angka ini pun masih terbilang jauh di bawah angka kejadian stunting pada balita di tingkat Provinsi. Di mana, per Februari 2020, angka kejadian stunting balita di Jateng masih berada di angka sekitar 14,9 persen.
Secara nasional, prevalensi angka kejadian stunting di Solo juga terbilang rendah.
Berdasarkan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2019, diketahu bahwa prevalensi balita stunting pada 2019 masih berada di angka 27,67 persen. Bahkan, angka stunting di Solo masih lebih rendah dari target angka stunting di Indonesia pada 2024 menjadi sebesar 14 persen.
Rendahnya angka stunting di Kota Solo juga diakui oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat.
Pada awal Maret lalu, BKKBN Pusat mengungkapkan rencana menjadikan Solo sebagai daerah pecontohan pelaksanaan pogram Pendataan Keluarga dan Penurunan Angka Stunting karena angka kejadian stunting di kota ini termasuk terendah di Indonesia, begitu juga dengan angka kematian ibu hamil.
Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, mengungkapkan sinergi dan kolaborasi antarpihak menjadi kunci penanganan stunting di Kota Bengawan.
Di lingkungan Pemkot Solo sendiri, penanganan stunting bukan hanya diampu oleh DKK, tapi juga didukung oleh organisasi perangkat daerah (OPD) lain, seperti Dinas Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana (DPPKB), Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM), Dinas Pendidikan (Disdik), Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan (DispertanKPP), termasuk Dinas Pekerjaan Umum (DPU) serta Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DisperumKPP).
Pemkot selama ini juga sering kali menggandeng maupun menerima dukungan dari banyak pihak luar dalam penanganan stunting, seperti perumda, institusi pendidikan, kelompok masyarakat, fasilitas kesehatan (faskes) swasta, termasuk pelaku usaha atau perusahaan swasta.
“Permasalahan stunting ini memang perlu atau harus dikeroyok bersama-sama,” kata Gibran saat dimintai tanggapan pada Rabu (24/3/2021).
Meski angka kejadian stunting di Solo sudah relatif rendah, Gibran masih ingin membuat keadaan yang lebih baik lagi. Pada prinsipnya, dia berujar, tidak boleh ada bayi stunting di Solo.
Gibran pun menyampaikan keinginan untuk dapat menyediakan rumah sakit dan puskesmas khusus ibu hamil dan anak di Solo.
Fasilitas kesehatan ini diarahkan bisa fokus pada pelayanan “sehat” ibu hamil dan anak. Artinya, rumah sakit dan puskesmas khusus ibu dan anak tidak menerima pelayanan “sakit” atau disatukan dengan orang sakit dan lainnya.
"(Faskes) Ini untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan kepada ibu hamil dan anak-anak," ungkap dia.
Dia juga mengaku siap mendukung suksesnya Pendataan Keluarga tahun 2021 oleh BKKBN Pusat. Gibran menilai ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari program pendataan ini.
“Kami siap menyukseskan pendataan keluarga untuk memotret data keluarga yang akurat, karena memiliki banyak fungsi, termasuk mengetahui lebih dalam masalah stunting dan ibu hamil dalam keluarga,” jelas dia.
Pada 1 April hingga 31 Mei 2021, sebanyak 193.000 keluarga di Solo rencananya akan disasar program pendataan keluarga untuk menjawab 53 variabel pertanyaan dari kader pendata BKKBN.
Data yang dihasilkan ini akan bersifat mikro sehingga diharapkan dapat menggambarkan secara riil kondisi keluarga di lapangan untuk mendukung arah kebijakan berbasis keluarga di masa depan.
Pemantapan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan
Kabid Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Ida Angklaita, menjelaskan bahwa ada empat faktor yang memengaruhi derajat kesehatan seseorang, yakni gaya hidup (perilaku), lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan).
Keempat determinan ini saling berinteraksi dan memengarahui status kesehatan seseorang, termasuk terkait dengan kejadian stunting.
Dia mengatakan DKK tidak mungkin mampu sendirian dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kesehatan.
Dalam upaya mengatasi masalah gizi, khususnya persoalan stunting pada anak, kata Ida, memerlukan peran lintas sektoral karena hal tersebut disebabkan oleh faktor multidimensi.
Dia menuturkan, dalam menangani kasus stunting dan gizi buruk, ada dua upaya intervesi gizi yang dilakukan oleh Pemkot, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik adalah langkah intervensi ang berkaitan langsung dengan stunting atau bersifat kesehatan. Misalnya, pemantapan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Pemantauan tumbuh kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan sangat penting dilakukan mengingat pesatnya pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia ini.
Yang dimaksud 1.000 hari pertama kehidupan, yakni mulai pembuahan di dalam rahim ibu sampai anak berusia 2 tahun.
“Periode umur anak di bawah 2 tahun telah dikenal sebagai periode emas. Jadi untuk memperoleh generasi yang sehat dan kuat, maka skala prioritas program adalah dimulai dari anak masih di dalam kandungan sampai berumur 2 tahun,” kata Ida saat diwawancara Kompas.com, Senin (29/3/2021).
Ada beberapa hal yang telah dilakukan DKK dalam mendukung masa-masa kritis tersebut.
DKK hingga saat ini tidak berhenti dalam mengadakan program pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil kurang energi kronik (KEK) dan suplementasi zat besi (Fe) serta asam folat kepada ibu hamil untuk cegah anemia.
Suplementasi tablet tambah darah (TTD) ini juga telah menyasar para remaja putri. Pemberian TTD kepada remaja putri dilakukan Pemkot untuk meminimalisiasi perempuan usia muda mengalami anemia.
Pasalnya, jika seorang remaja putri menderita anemia dan kemudian hamil, maka akan berpotensi melahirkan bayi stunting atau berat badan lahir rendah (BBLR). Hal ini disebakan karena kurangnya suplai oksigen dan makanan ke janin selama masa kehamilan.
Untuk lebih menyukseskan program pemberian TTD kepada remaja putri, DKK telah menjalin kerja sama dengan Dinas Pendidikan dan seluruh sekolah dari jenjang SD, SMP, dan SMA.
Di mana, proses pendistribusian TTD kepada para remaja putri dari puskesmas-puskemas sekarang dibantu oleh pihak sekolah.
“Pemberian TTD kepada remaja sebenarnya sudah lama. Tapi sejak ada pertemuan dengan seluruh kepala SD, SMP, dan SMA pada 2019 dalam program Gema Sobat (Gerakan Anak dan Remaja Solo Sehat), kami berkomitmen bahwa remaja putri di Solo mulai kelas 6 SD harus mendapatkan tablet Fe seminggu sekali,” jelas Ida.
Selain pemberian PMT dan suplemen tambah darah, DKK juga telah mendorong setiap ibu hamil untuk dapat melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin, minimal empat kali selama kehamilan.
Ida menuturkan, sejak 2016, Pemkot telah menggratiskan biaya pemeriksaan kehamilan bagi warga Solo. Pembebasan biaya pelayanan kesehatan ini juga berlaku untuk pemeriksaan laboratorium bagi ibu hamil.
“Pemeriksaan laboratorium bisa dua kali selama kehamilan di trimester 1 dan 2, sehingga kami bisa tahu kondisi ibu hamil sejak dini, apakah mengalami anemia atau tidak, maupun untuk kondisi lainnya,” tutur Ida.
Selain untuk ibu hamil, DKK juga menyediakan anggaran untuk pemberian makan tambahan kepada balita kurang gizi. PMT biasanya dilakukan oleh petugas kesehatan puskesmas bekerja sama dengan kader kesehatan.
“Selama Pandemi Covid-19 ini, PMT untuk ibu hamil dengan KEK dan balita kurang gizi masih dilakukan. Sistemnya, petugas dan kader kesehatan kebanyakan door-to-door ke rumah warga sekaligus melakukan pemantauan kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak,” jelas Ida.
Dalam kesempatan bertemu dengan warga tersebut, petugas dan kader kesehatan tidak ketinggalan telah diingatkan untuk tetap bisa memberikan sosisalisasi kesehatan kepada ibu hamil maupun keluarganya.
Dalam upaya pencegahan stunting, DKK mendorong ibu hamil dapat melakukan inisiasi menyusui dini (IMD) segera setelah melahirkan serta mengupayakan bayi mendapatkan kolostrum, yakni air susu ibu (ASI) yang pertama keluar.
Para ibu juga diharapkan dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia 6 bulan, para orang tua bisa memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) secara bertahap dengan tetap diberi ASI.
“Dalam upaya mendidik masyarakat ini, kami melihat banyak pihak sudah ikut berperan, termasuk swasta. Beberapa perusahaan kami lihat ada inisiatif edukasi ke karyawan. Peran RS swasta di Solo untuk IMD dan ASI ekskulsif juga bisa kami andalkan,” kata Ida.
DKK: intervensi kesehatan pengaruhnya hanya 20 persen dalam pengendalian stunting
Ida mengungkapkan, berdasarkan analisis, intervensi gizi spesifik atau oleh kesehatan sebenarnya hanya berkontribusi sebanyak 20 persen dalam keberhasilan mencegah terjadinya stunting dan gizi buruk di Kota Solo.
Di mana, intervensi sensitif yang tidak berkaitan langsung dengan sasaran stunting malah punya kontribusi dominan sampai 80 persen.
Menurut dia, hal ini sudah disadari oleh segenap OPD di lingkungan Pemkot Solo, sehingga isu stunting telah menjadi perhatian bersama.
“Yang 80 persen ini bersifat sensitif atau justru di luar kesehatan. Inilah yang harus dipahami bersama-sama,” kata Ida.
Sebagai contoh, beberapa OPD lain telah maksimal mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan program peningkatan kemampun pendapatan warga atau orang tua kurang mampu.
Ida mengatakan, program seperti ini penting karena kasus anak stunting di Solo kebanyakan datang dari keluarga miskin.
DKK mungkin bisa saja memberikan makanan tambahan kepada anak-anak dari keluarga miskin guna mendukung asupan gizi keluarga. Tapi, DKK rasanya kesulitan jika harus melakukan PMT terus-menerus seumur hidup anak.
“Apakah bisa seumur hidup anak ini akan mengandalkan PMT? Kan enggak. Jadi keluarga diharapkan bisa berdaya,” kata Ida.
Dia mencontohkan beberapa program lain di luar DKK yang sangat berperan dalam keberhasilan penanganan stunting di Solo, seperti ketahanan pangan keluarga oleh DispertanKPP, pusat pembelajaran anak dan keluarga (Puspaga) dari DP3APM, promosi KB oleh DPPKB, hingga penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik oleh DPU, DisperumKPP, maupun Perumda Air Minum (PDAM) Toya Wening.
“Pada 2019, Kota Solo sendiri sudah declare untuk bebas BABS (buang air besar sembarangan), karena kondisi sanitasi lingkugan juga mendukung pencegahan stunting,” jelas Ida.
Kepala Dinas Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Solo, Purwanti, menyadari penanganan stunting memang tidak bisa dilakukan hanya dari sektor kesehatan.
Semua pihak harus turun tangan dalam upaya menyiapkan Generasi Emas Indonesia di masa depan ini.
DPPKB sendiri terlibat dalam upaya penanganan stunting dengan pendekatan keluarga.
Sama dengan DKK, DPPKB juga turut menyasar kalangan remaja untuk mencegah stunting. DPPKB punya program kampanye Triad KRR.
Triad KRR adalah tiga ancaman dasar yang dihadapi oleh remaja mengenai kesehatan reporoduksi, yaitu seks bebas, pernikahan dini, dan napza (narkoba, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).
“Jadi di Solo kami garap dari remaja. Kami mengampanyakan Triad KRR, jangan sampai remaja melakukan seks bebas, pernikahan usia anak, dan mengonsumsi napza,” jelas Purwanti kepada Kompas.com.
Menurut dia, Triad KRR dapat memengaruhi status kesehatan calon orang tua, sehingga menyebabkan kejadian stunting pada anak.
Misalnya, pernikahan dini bisa menempatkan perempuan pada ketidaksiapan akan pengetahuan mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.
Hubungan lain antara stunting dan pernikahan dini adalah para remaja putri cenderung masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun.
Apabila mereka sudah menikah pada usia remaja, misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh ibu bisa berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya.
“Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi pun bisa lahir dengan berat badan lahir rendah dan berisiko terkena stunting,” jelas Purwanti.
Dalam melakukan kampanye Triad KRR, DPPKB melibatkan Duta Generasi Berencana (Genre) dan anggota Forum Genre Kota Solo.
Duta Genre adalah remaja atau anak muda dari jalur pendidikan dan masyarakat yang terpilih dalam ajang Pemilihan Duta Genre tahunan. Sedangkan anggota Forum Genre merupakan para remaja atau anak muda mantan Duta Genre.
“Selain mengampanyekan Triad KRR, Duta Genre bisa bicara soal pembangunan keluarga untuk menyiapkan generasi emas,” kata dia.
Selain menyasar remaja, BPPKB juga menyasar calon pengantin dalam upaya mencegah maupun meredam stunting di Solo.
Dalam hal ini, DPPKB memiliki inovasi unggulan berupa program Sultan Nikah Capingan (Konsultasi Pra Nikah Bagi Calon Pinanganten). Program ini telah diberlakukan sejak Agustus 2020.
Purwanti menyebut program Sultan Nikah Capingan diadakan untuk mewujudkan kokohnya ketahanan keluarga. Layanan yang diberikan berupa konsultasi, pemberian buku saku, dan surat keterangan konsultasi.
“Saat proses konsultasi, kami akan memulai skrining terhadap calon pengantin. Petugas akan memberikan edukasi, memberikan pertanyaan kepada calon pengantin, atau menjawab setiap pertanyaan dari mereka,” kata dia.
Kaitannya dengan penanggulangan stunting, Purwanti menyebut, dalam pelaksanaan program Sultan Nikah Capingan, petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) salah satunya akan mengedukasi soal delapan fungsi keluarga kepada calon pengantin, termasuk fungsi reproduksi.
Dalam hal ini, manakala calon pengantin wanita diketahui belum mencapai usia 21 tahun, PLKB sesuai prosedur akan memberikan saran agar calon pengantin ini bisa menunda kehamilan.
“Sesuai UU tentang Perkawinan usia minimal kawin perempuan kan sekarang 19 tahun. Padahal dari sisi medis, 19 belum begitu siap untuk hamil. Jadi, harapannya (kehamilan) bisa ditunda dulu untuk menurunkan risiko memiliki anak stunting,” kata dia.
Purwanti memastikan dalam pelaksanaan program Sultan Nikah Capingan, layanan konsultasi tak berhenti dalam sekali pertemuan.
Para PLKB telah disiapkan untuk dapat memberikan pendampingan kepada calon pengantin hingga mereka menikah dan bahkan memiliki anak.
Dengan demikian, DPPKB pun akan mengetahui apakah calon pengantin wanita yang ditemui petugas dalam layanan konsultasi benar baru hamil setelah berusia 21 tahun atau tidak setelah menikah.
“Tindak lanjut dari konsultasi memang calon pengantin diharapkan bentul-betul bisa menunda hamil sampai di usia yang disarankan,” ujar dia.
Purwanti menunjukkan data, sejak Agustus 2020 hingga Februari 2021, DPPKB telah melayani 833 calon pengantin dalam program Sultan Nikah Capingan. Dari jumlah itu, sekitar 50 calon pengantin wanita masih berusia kurang dari 21 tahun.
DPPKB punya data lengkap terkait identitas calon pengantin ini, mulai dari nama, alamat rumah, dan nomor HP. Dengan demikian, petugas KB bisa dengan mudah mendampingi mereka.
“Nanti data ini akan kami bangun sistem. Karena calon pengantin kan akan menjadi ibu, proses edukasi dari petugas nanti akan berlanjut terus saat mereka hamil, pascamelahirkan, sampai punya anak,” kata dia.
Purwanti mengungkapkan, layanan konsultasi dalam program Sultan Nikah Capingan diberikan untuk seluruh agama, tidak dibatasi.
PLKB bisa “menangkap” calon pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA), kantor kelurahan, maupun tempat ibadah.
Di Solo, ada 34 PLKB atau penyuluh KB yang siap memberikan layanan. Masing-masing PLKB ini juga ditarget harus mencari ibu hamil dan ibu pascasalin untuk diedukasi. Satu petugas diharapkan bisa memberi 336 pelayanan per tahun.
“Namanya saja PLKB, salah satu tugasnya adalah melakukan KIE (komunikasi, informasi, edukasi) kepada keluraga- keluarga yang rentan terhadap masalah Bangga Kencana (pembangunan keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana),” tutur dia.
Kolaborasi pemerintah-masyarakat-swasta
Sementara itu, Kabid Pemberdayaan Masyarakat Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakarat (DP3APM) Solo, Sabta, merasa beruntung kesadaran warga Solo terbilang luar biasa dalam mendukung upaya pencegahan dan penanganan stunting.
Ada begitu banyak masyarakat yang telah sudi bergabung dalam kegiatan Posyandu Anak di Solo.
Sedikitnya kini sudah ada 618 Posyandu yang terbentuk di Solo. Posyandu ini menjadi wadah pemeliharan kesehatan yang dilakukan dari, oleh, dan untuk masyarakat yang dibimbing oleh petugas terkait.
Bidang Pemberdayaan Masyarakat DP3APM memiliki tugas dalam pembinaan kelembagaan Posyandu.
Dia menyebut, tanpa peran serta masyarakat, pemerintah tentu akan kesulitan dalam upaya menekan atau meredam angka kejadian stunting.
“Saya bilang peran serta masyarakat di Solo ini tinggi dalam mendukung berbagai program pemerintah, termasuk soal penanganan stuntingini lewat Posyandu,” kata Sabta.
Di tengah pandemi Covid-19, kegiatan Posyandu di sejumlah wilayah di Solo sudah mulai berjalan kembali.
Sabta mengapresiasi para kader Posyandu yang bersedia melakukan pemantauan tumbuh kembang anak secara door-to-door dengan menerapkan protokol kesehatan (Prokes) ketat.
“Kebanyakan Posyandu sudah mulai jalan lagi. Kegiatannya menyesuaikan kondisi daerah sekitar kader. Kebanyakan masih dengan berkunjung ke rumah-rumah,” kata dia.
Untuk mendukung mobilitas kader Posyandu, Pemkot selama ini telah menganggarkan dana operasional sebesar Rp4,5 juta per tahun kepada setiap Posyandu lewat Dana Pembangunan Kelurahan (DPK).
Selain itu, DP3APM sendiri pada 2019 dan 2020 sempat memberikan hibah 618 sepeda kepada pengurus Posyandu di Solo.
“Niat awal hibah sepeda, jika ada balita atau ibu hamil dalam kondisi kurang mampu, tidak sanggup datang ke Posyandu, bisa dicek oleh kader pakai sepeda ke rumah. Sekarang para kader bisa menggunakan sepeda ini untuk door-to-door karena pandemi Covid-19,” tutur Sabta.
Dalam situasi Pandemi, DP3APM sempat pula mengundang para kader Posyandu dari berbagai kelurahan untuk mengikut sosialisasi gizi. Menurut Sabta, ada banyak kader Posyandu yang berminat mengikuti kegiatan tersebut.
DP3APM menyelenggarakan sosialisasi gizi kepada kader Posyandu supaya mereka bisa menjelaskan pentingnya gizi bagi kesehatan ibu dan balita, terlebih lagi di masa pandemi.
“Justru di tengah wabah ini, pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan warga, agar daya tahan tubuh pun dapat tetap terjaga dengan baik,” jelas dia.
Sabta menuturkan, Pemkot pada dasarnya sangat terbuka terhadap dukungan dari masyarakat maupun pihak swasta dalam upaya penanganan stunting.
Beberapa kali Pemkot pun merasa sangat terbantu dengan swasta yang berinisiatif mendukung program penanganan stunting, seperti penyelenggaraan sosialisasi kesehatan atau gizi, pemeriksaan kesehatan gratis, hingga pemberian makanan tambahan untuk masyarakat.
Sabta menilai kolaborasi pemerintah dan swasta sangatlah positif dan perlu terus diperkuat di masa depan untuk mendukung pemenuhan nutrisi anak-anak dan tumbuh kembang mereka.
https://health.kompas.com/read/2021/03/30/220500468/bukti-sinergi-dan-kolaborasi-jadi-kunci-atasi-stunting-