Menyusui selalu dikaitkan dengan upaya pencegahan kekurangan gizi (malnutrisi) pada bayi dan anak, termasuk stunting yang menjadi ancaman generasi masa depan Indonesia.
Stunting merupakan kondisi ketika anak balita (bawah lima tahun) memiliki tinggi badan di bawah rata-rata akibat masalah gizi kronis yang disebabkan asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, terjadi mulai dari dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun atau periode 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali merilis berita yang mengungkapkan jangkauan yang mencengangkan dari pemasaran susu formula yang eksploitatif bertajuk “WHO Reveals Shocking Extent of Exploitative Formula Milk Marketing”. Informasi tersebut dipublikasikan pada awal kuartal kedua tahun 2022 di situs resmi WHO.
Berita itu merupakan pemutakhiran dari laporan WHO sebelumnya yang intinya mengajak kita menjauhkan bayi kita dari pemasaran agresif susu formula karena membahayakan kesehatan bayi secara global.
Namun kini seolah menjadi sebuah peristiwa paradoksal, ketika susu formula yang sekalipun telah dikecam banyak pihak, mulai dari WHO hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal penggiat ASI, tetapi faktanya masyarakat terus saja membelinya.
Benarkah hal ini disebabkan oleh pemasaran yang eksploitatif dan agresif semata? Mari kita lihat permasalahan tersebut dengan sudut pandang yang lebih beragam disertai data empiris yang ada.
Angka penjualan susu formula terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Seolah kecaman-kecaman tersebut di atas tidak mampu memberikan pengaruh yang bermakna terhadap perubahan sikap masyarakat secara umum.
Kenyataan lainnya, di tengah sejumlah kecaman tersebut, menurut WHO, industri susu formula secara global merupakan bisnis dengan nilai fantastis, yaitu sebesar 55 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 795 triliun (nilai kurs Rp 14.464 per dolar AS).
Akar persoalan
Harus diakui bahwa literasi gizi masyarakat kita sebagian besar masih rendah. Hal ini menjadi salah satu sebab utama masih tingginya konsumsi susu formula.
Minat baca masyarakat memang tinggi. Namun sayangnya hal itu tidak linier dengan daya baca mereka. Musababnya masyarakat banyak membaca informasi terkait susu formula dan air susu ibu (ASI), tetapi hanya mengandalkan bacaan dari sumber-sumber relatif yang kurang kredibel dan rawan hoaks seperti media sosial.
Media sosial memang sudah sangat lazim dan bahkan menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Menurut DataReportal, sejak Januari 2022, sebanyak 191,4 juta orang adalah pengguna aktif media sosial, baik di YouTube, Facebook , Instagram, TikTok, Whatsapp, maupun Twitter.
Angka tersebut setara dengan 68,9 persen total populasi Indonesia, atau meliputi hampir semua orang berusia 15 – 64 tahun.
Kondisi di atas ternyata memberikan celah adanya operasi digital marketing yang telah dirancang sedemikian rupa oleh industri sehingga sekilas tampak bukan seperti sebuah promosi atau iklan. Produsen dan distributor susu formula sering menggunakan strategi pemasaran digital di berbagai saluran online dan platform media sosial karena jangkauan dan dampak promosinya yang dramatis dan signifikan.
Teknologi digital menawarkan alat pemasaran baru yang sangat persuasif, sangat hemat biaya, dan sering tidak mudah dikenali sebagai promosi susu formula. Sasaran promosi ini adalah ibu hamil dan ibu dari bayi dan balita yang rentan pengaruh iklan terutama di negara-negara berkembang.
Sementara itu, faktanya masih sangat sedikit masyarakat yang mau dan mampu membaca dari sumber bacaan yang lebih dapat dipercaya dan bebas hoaks, semisal media arus utama, baik versi cetak maupun online.
Informasi berkualitas sejatinya juga bisa diperoleh dari buku-buku bermutu, baik berbentuk cetak maupun digital, serta berbagai laman dari lembaga yang sudah memiliki reputasi baik. Namun semua ini menuntut minat sekaligus daya baca yang tinggi.
Secara empiris, sebab lain dari tingginya konsumsi susu formula adalah karena susu formula, terutama susu formula pertumbuhan untuk anak usia 1 hingga 3 tahun (growing-up milk / GUM), apabila diberikan dengan ukuran asupan dan saat yang tepat justru berdampak positif pada kesehatan anak.
Karena itu, sebagian besar ibu anak balita tetap memberikan susu formula untuk anak-anak mereka. Dalam konteks dan kondisi yang benar dan dibenarkan, semestinya susu formula tidak harus selalu dipertentangkan dengan ASI. Susu formula bahkan bisa membantu dengan menjadi pendamping ASI yang tepat.
Pemahaman tersebut di atas tidaklah salah dan bahkan sejalan dengan temuan dari penelitian yang dilakukan tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) berjudul "Daily Consumption of Growing-Up Milk is Associated with Less Stunting among Indonesian Toddlers" oleh Sjarif et al. (2019).
Studi tersebut menyimpulkan bahwa konsumsi harian 300 ml GUM dapat dipertimbangkan untuk mencegah stunting pada balita. Produk daging merah (sosis, nugget, dan bakso) yang banyak dikonsumsi karena kepraktisannya belum dapat dikatakan sebagai sumber protein hewani yang penting karena kandungan gizinya yang sangat bervariasi.
Data empiris yang dimiliki penulis juga menyebutkan bahwa masyarakat yang memiliki anak usia 1 – 3 tahun sebagian besar mengonsumsi GUM. Penulis pernah melakukan riset untuk disertasi pada rentang Mei hingga Oktober 2021 tentang perilaku konsumen GUM di dua provinsi (Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur) yang meliputi 4 kabupaten/kota (Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Malang, dan Kota Malang).
Hasilnya, dari 1.493 responden yang semuanya anggota Posyandu, sebanyak 1.029 atau 79,4 persen anggota yang memiliki anak usia 1 – 3 tahun memberikan GUM untuk anak mereka karena yakin dengan manfaatnya untuk pertumbuhan anak.
Tentu saja data tersebut tidak bisa digunakan sebagai dasar pembenaran pemberian susu formula ataupun GUM sebagai pengganti ASI.
Susu formula ataupun GUM, boleh diberikan kepada bayi atau anak balita, jika dan hanya jika kondisi ibu bayi atau balita tidak memungkinkan memberikan ASI karena sebab yang dibenarkan secara medis. Misalnya karena sakit, meninggal, menjalani perawatan medis yang tidak aman selama menyusui, memiliki riwayat operasi payudara seperti mastektomi atau operasi pengecilan payudara, serta memiliki riwayat perawatan radiasi, misalnya dalam pengobatan kanker payudara, dan memiliki sakit menular.
Jalan keluar
Sejatinya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan nasional, melaksanakan advokasi dan sosialisasi program, serta edukasi secara masif tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif pada bayi hingga usia enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain sesuai amanah yang tercantum dalam PP Nomor 33 Tahun 2012.
Namun, diperlukan usaha nyata, komitmen, serta anggaran yang jauh lebih besar agar PP tersebut dapat menuai hasil optimal. Misalnya melalui iklan layanan masyarakat melalui TV dan platform digital secara lebih intens, supaya terbangun kembali kesadaran dan literasi masyarakat tentang pentingnya ASI eksklusif.
Selain itu, untuk mengimbangi agresivitas pemasaran susu formula yang dilakukan oleh industri, dibutuhkan juga tenaga kesehatan termasuk kader posyandu dengan pengetahuan yang memadai (knowledgeable) baik tentang ASI maupun tentang susu formula, agar mampu mengedukasi sekaligus meyakinkan masyarakat agar kembali memprioritaskan ASI untuk bayi dan balita mereka. Pemberian susu formula ataupun GUM hanya sebagai asupan tambahan dan bukan pokok.
Dari laman Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), diketahui bahwa sekitar 83 persen produksi susu (olahan) dunia berasal dari susu sapi, selebihnya adalah susu kerbau, susu kambing dan sedikit susu unta.
Namun, berdasarkan data dari banyak penelitian ilmiah, ASI tetaplah susu terbaik untuk bayi, sementara susu sapi adalah susu terbaik untuk anak sapi. Oleh karenanya ASI tetap merupakan pilihan yang paling rasional untuk bayi.
https://health.kompas.com/read/2022/09/10/104645568/susu-formula-dimusuhi-tetapi-terus-dibeli