Sejak merebak pada Agustus 2022, sudah ada 241 kasus di 22 provinsi, dengan jumlah anak-anak yang meninggal mencapai 133 orang atau 55 persen dari total kasus.
Atas kasus yang terasa mendadak ini, pemerintah sempat mengkategorikan kejadian ini sebagai kasus yang misterius.
Namun demikian, beberapa hari lalu telah diputuskan langkah antisipatif sebagai upaya pencegahan supaya kasus ini tidak semakin menjalar jauh.
Langkah yang dikeluarkan tersebut di antaranya adalah dengan meminta tenaga kesehatan atau fasilitas layanan kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obat dalam bentuk sirup atau sediaan cair. Ada indikasi salah satu penyebab kejadian ini karena adanya kontaminan senyawa kimia tertentu.
Kemudian, tanpa menunggu lama dan dengan ‘gerak cepat’ pemerintah, masyarakat sudah mendapatkan info terkait daftar obat-obat yang harus diwaspadai.
Bahkan di antaranya dinyatakan untuk ditarik segera akibat memiliki kandungan cemaran senyawa kimia tertentu tersebut.
Sebagai masyarakat awam, kita akhirnya mengenal nama-nama senyawa kimia itu. Mulai perlahan-lahan muncul kebingungan bagaimana nanti mengobati anak-anaknya jika sakit.
Misalnya terkena serangan demam panas. Kebingungan yang disebabkan dari kebiasaan yang sudah menahun. Turun temurun.
Ditambah lagi, itulah resep-resep yang selama ini dianggap manjur, disarankan secara legal, dan dikoar-koarkan melalui berbagai tayangan iklan.
Di balik semua itu, ada satu hal yang sangat penting untuk tidak dilupakan bahwa harus ada yang bertanggung jawab atas tragedi yang berujung kematian ini. Siapa yang harus bertanggung jawab?
Jika ditelisik secara umum, ada beberapa persoalan mendasar yang saling berkaitan terkait penggunaan obat-obatan di Indonesia. Pertama, terkait edukasi kepada masyarakat dalam menggunakan obat.
Alih-alih mendapatkan edukasi yang sempurna. Fantastisnya iklan menjadi salah satu penyebab tergiurnya kita untuk bergegas menggunakan obat-obat yang memang sedang mencari pangsa pasarnya.
Apalagi sebagai orangtua, tentunya selalu berharap setelah minum obat anak-anak itu langsung bisa sembuh dan sekaligus bisa beraktivitas seperti biasa. Bisa lari-larian dan bermain lagi. Persis sebagaimana cuplikan di iklannya.
Tidak sedikit juga yang terbiasa dengan resepnya sendiri. Hanya dengan referensi masa kecilnya, pengalaman bestie, konten-konten di media sosial, atau hasil searching di Google. Pola ini bukan tidak mungkin terus berulang dari generasi ke generasi selanjutnya.
Kedua, ihwal pengawasan obat-obatan. Melihat masih adanya penjualan obat-obatan di tempat yang tidak seharusnya, apalagi dengan ketiadaan campur tangan tenaga kesehatan, hal ini sepatutnya mulai ditertibkan secara sistemik dan tuntas.
Tujuannya tidak lain agar menghindari penyalahgunaan serta tertutupnya ruang jual – beli obat-obatan ilegal. Termasuk yang sudah kedaluwarsa. Tensi pengawasan memang harus lebih ditingkatkan.
Terakhir ketika edukasi sudah diberikan secara maksimal dan pemantauan sudah dilakukan di setiap jalur pada proses produksi – distribusi – konsumsi, harus ada tindak lanjut yang menjerakan ketika terjadinya temuan.
Apalagi temuan itu sangat membahayakan, seperti efek samping yang permanen ataupun yang berujung pada kematian.
Agaknya apakah hukuman-hukuman yang selama ini diberikan masih terlalu ringan bagi pelaku yang saat ini semakin bebas memperdagangkan obatnya? Apalagi di tengah asyiknya jual-beli online yang bergentayangan di berbagai e-commerce.
Ditambah dengan kebutuhan peningkatan imunitas masyarakat efek hadirnya pandemi Covid-19 sejak dua tahun lalu.
Ini semua menjadi momentum bagi oknum yang ingin mengeruk keuntungan dengan melakukan jual beli berbagai obat-obatan, vitamin, atau suplemen ilegal.
Sebagaimana hasil publikasi dari temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) per Selasa (4/10), terkait peredaran Vitamin C, Vitamin D3, dan Vitamin E ilegal yang di antaranya diedarkan secara online melalui e-commerce. Ditemukan data yang sangat mengkhawatirkan.
Bayangkan saja, kurang dari setahun, tepatnya dari Oktober 2021 – Agustus 2022, BPOM berhasil menemukan 22 item produk vitamin ilegal pada 19.703 tautan/link. Tidak tanggung-tanggung, nilai keekonomian ini diperkirakan sebesar Rp 185 miliar lebih.
Sementara itu, masih pada periode yang sama juga ditemukan 41 obat tradisional yang mengandung zat kimia berbahaya. Efek samping zat tersebut juga sangat berbahaya, di antaranya kesulitan buang air kecil, gangguan hormon, gangguan pertumbuhan, dan masih banyak lagi.
Bagaimana dengan hukuman yang selama ini dihadirkan? Dalam rentang lima tahun terakhir, putusan tertinggi pengadilan pada perkara pidana terkait kasus obat tradisional dan suplemen kesehatan hanya berupa penjara selama dua tahun dan denda Rp 250 juta subsider kurungan tiga bulan.
Hadirnya kasus gagal ginjal akut pada anak yang disinyalir salah satu penyebabnya adalah dari penggunaan obat-obatan yang terkontaminasi senyawa tertentu ini haruslah dievaluasi secara menyeluruh. Tidak cukup hanya menjadikan obat sebagai ‘pihak’ yang harus bertanggung jawab.
Jika perlu, harus ada langkah investigasi yang dilakukan agar bisa menjawab pertanyaan masyarakat mengapa obat-obat yang beredar dan kemudian dikonsumsi itu kecolongan mengandung zat-zat berbahaya.
Kemudian, harus ditelusuri juga di mana titik-titik yang masih bolong sehingga dengan mudahnya obat-obat ilegal masih bisa leluasa bermunculan.
Dan mumpung kasus gagal ginjal anak ini masih menjadi salah satu titik fokus dari Kemenkes, BPOM, dan bahkan seluruh elemen bangsa. Ada baiknya juga segala bentuk investigasi dilakukan terhadap tingkat keamanan pangan.
Termasuk pada jenis-jenis makanan yang menjadikan anak-anak sebagai target konsumennya.
Uji sampelnya. Jika terkonfirmasi adanya zat-zat berbahaya atau kandungannya yang melampaui ambang batas, maka umumkan dan tarik segera peredarannya.
Jangan biarkan ada celah toleransi sedikit pun untuk hal-hal yang akan merusakan masa depan generasi penerus bangsa.
Bukankah kita sedang menyiapkan generasi emas untuk keberlanjutan pembangunan dan kehidupan bangsa ini?
Jika demikian, seharusnya obat-obatan, makanan-makanan, dan apapun yang akan menelusuri saluran pencernaan anak-anak sangat penting untuk diperhatikan.
Lebih penting dari sekedar mengutamakan kepentingan untuk suksesi kepemimpinan 2024 yang mulai menggaduh ini.
Jadi, sudah adakah yang bertanggung jawab atas tragedi gagal ginjal akut ini? Andai secara hukum masih mengundang perbedaan sudut pandang, namun kita masih menanti hadirnya kepekaan dan keberanian dalam menunaikan tanggung jawab moral.
https://health.kompas.com/read/2022/10/23/085823368/tragedi-gagal-ginjal-anak-siapa-yang-bertanggung-jawab