Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hasdam, Walikota yang Spesialis Saraf

Kompas.com - 17/01/2008, 14:04 WIB

Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Achmad Bayasut

MENGGELUTI dunia politik sekaligus berkarir sebagai dokter spesialis saraf, bagi Andi Sofyan Hasdam merupakan dua sisi mata uang. Keduanya digeluti bersamaan dan terbilang sukses.   Itulah aktivitas keseharian dr H Andi Sofyan Hasdam SpS, Walikota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

Sebenarnya menjadi walikota bukan impian dan cita-cita.  Walau begitu, karirnya di pentas politik justru melejit dan kini menduduki kursi Walikota Bontang periode 2006-2011. Sofyan saat ditemui Minggu (13/1) di sela-sela jalan sehat di Balikpapan mengisahkan cukup detail tentang perjuangannya.
 
Pria kelahiran Makassar 4 Februari 1956 ini sejak bayi diboyong orangtuanya ke Jakarta. Maklum, ayahnya Haji Andi Sewang Daeng Muntu (Hasdam) berkarir sebagai politisi di ibukota negara ketika itu. Sofyan kecil bertumbuh dan mulai tertarik pada politik karena secara tidak langsung mengikuti kegiatan sang ayah yang pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Masyumi hasil pemilu tahun 1955.
 
Namun saat pecahnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), semua orang Masyumi dikerjar-kejar PKI. "Akibat pemberontakan PKI, ayah saya memutuskan kami sekeluarga kembali ke Makassar. Karena ayah saya merasa belum aman, kami pindah lagi ke Kecamatan La Baka, Kabupaten  Pangkep,â€? kenangnya. Selama menjalani kehidupan di kecamatan, Sofyan menjadi remaja kampung yang sibuk dengan dua kegiatan: pagi sekolah formal, sore sekolah agama.

Dari situlah dirinya meraup bekal-bekal berdakwah. Sedangkan ayahnya tetap berkutat di panggung perpolitikan. Sang ayah kemudian menjabat Ketua Pimpinan Muhammadiyah Sulawesi Selatan Tenggara (Sulselra). Kesibukan ayahnya yang sering rapat
organisasi, kerap dihadiri Sofyan. 

Akhirnya Sofyan menyadari darah politik sang ayah mengalir dalam dirinya. Apakah itu termasuk genetik? Kata Sofyan, dalam ilmu kedokteran itu tidak ada teorinya. "Manusia itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Orang-orang baik, jika berada dalam lingkungan narkoba tidak lama pasti orang tersebut bisa jadi pemakai narkoba," ujarnya.

Sofyan perlahan-lahan terjun di dunia politik ketika masih di bangku SMP. Dirinya aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Sofyan tidak merasa terjun politik karena arahan dari ayah. Sebab ketika duduk di kelas satu SMP ayahnya meninggal dunia.

Kematangannya berpolitik terus terasah sewaktu belajar dari organisasi-organisasi ekstra seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di bangku kuliah. Bagaimana dengan profesi dokter?  Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, ini mengakui memang sejak kecil bercita-cita menjadi dokter.

"Melihat dokter berpakaian putih dan bersih, membuat hati saya semakin teguh menjadi untuk dokter. Bahkan, ketika saya naik
mobil dan melewati fakultas kedokteran depan masjid raya di Makassar, saya selalu berdoa ya Allah mudah-mudahan bisa sekolah  di sini. Menjadi walikota bukan cita-cita dan tidak pernah mimpi sedikitpun," ujar pria yang pernah jadi staf pada bagian penyakit saraf RSUD AW Sjahranie, Samarinda itu.
 
Menariknya, selama kuliah di kedokteran Sofyan memilih spesialisasi saraf.  Alasannya, gangguan saraf merupakan penyakit masa depan masyarakat Indonesia. Penyakit parkinson, stroke, rematik,  akan mendominasi masyarakat Indonesia pada usia-usia tua.  Di tengah kesibukannya sebagai Walikota Bontang, Sofyan masih menyempatkan diri berkarir sebagai dokter bahkan sering memeriksa pasien-pasien di rumah sakit. "Ilmu politik dan ilmu kedokteran sama-sama sulit. Tapi keduanya merupakan seni yang indah," tandas suami dari Neni Moernieni ini.

Memang, kariernya di pentas politik terbilang sukses. Apa kuncinya? Belajar dari orang lain yang lebih hebat. Diam-diam, Sofyan mengagumi  mantan Perdana Menteri Inggris, Margareth Teacher. "Margareth memiliki sifat-sifat asli seorang perempuan yang lebih menonjol perasaan dibanding nalar. Tapi ternyata seorang Teacher bisa mengubah Inggris.  Mengubah perilaku masyarakat dan manajemen di Inggris," ujarnya.

Sedangkan tokoh nasional yang menjadi idolanya yakni mantan Presiden BJ Habibie. Alasannya, Habibie bukan latar belakang dari pemerintahan tetapi jujur. Semasa pemerintahannya pernah membuat kemajuan di Indonesia namun sayangnya sempat terputus.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com