Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Seks untuk Anak? Segera Berikan!

Kompas.com - 10/03/2008, 17:34 WIB

PERKEMBANGAN teknologi membuat seks tidak dianggap sakral lagi. Penemuan alat kontrasepsi oleh AS kemudian memicu revolusi seks di tahun 1960-an. Paradigma pun berubah. Seks dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Akibatnya pergaulan seks bebas pun marak.

Imbasnya juga dirasakan di Indonesia. Perubahan pandangan terhadap seksualitas terjadi sejak awal tahun 1980-an. Hal ini juga mengakibatkan perubahan dalam perilaku seksual termasuk di kalangan remaja.

Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan pandangan dan perilaku seksual tersebut. Contohnya, perkembangan iptek seperti internet, semakin longgarnya pengawasan dan perhatian orangtua dan keluarga akibat kesibukan, pola pergaulan yang semakin bebas dan lepas (sementara orangtua mengizinkan), lingkungan yang makin permisif, semakin banyak rangsangan seksual yang berasal dari luar dan fasilitas yang mendukung.

Aborsi Meningkat
Hubungan seksual pun kemudian bukan lagi menjadi sesuatu yang sakral. “Ironisnya, mereka tidak mendapat pendidikan seksual yang benar dan cukup. Bahkan mereka dihambat untuk menerima pendidikan seksual yang benar dan bertanggung jawab,” ujar Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FACCS, dengan nada geram. Sayangnya, reaksi penolakan cukup kuat. Alasannya, antara lain karena pendidikan seks bukan budaya Indonesia, melainkan budaya Barat.

Sebenarnya, saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden, salah satu pernyataannya yang sangat simpatik dan menunjukkan pengetahuan dan wawasan luas ialah “setuju pendidikan seks diberikan di sekolah”. Sayang, kata Prof. Wimpie, setelah Gus Dur lengser, persetujuan dilupakan dan lenyap ditelan waktu.

Tidak aneh bila timbul akibat yang dengan mudah dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penelitian menunjukkan, remaja putra maupun putri pernah berhubungan seksual. Di antara mereka yang kemudian hamil pranikah mengaku taat beribadah. Penelitian di Jakarta tahun 1984 menunjukkan 57,3 persen remaja putri yang hamil pranikah mengaku taat beribadah.

Lalu penelitian di Bali tahun 1989 menyebutkan, 50 persen wanita yang datang di suatu klinik untuk mendapatkan induksi haid berusia 15-20 tahun. Menurut Prof. Wimpie, induksi haid adalah nama lain untuk aborsi.

Penelitian di Bandung tahun 1991 menunjukkan, dari responden pelajar SMP diketahui 10,53 persen pernah melakukan ciuman bibir, 5,6 persen melakukan ciuman dalam, dan 3,86 persen pernah berhubungan seksual. Akibatnya, makin banyak kasus kehamilan pranikah, pengguguran kandungan, dan penyakit kelamin maupun penyakit menular seksual di kalangan remaja (termasuk HIV/AIDS).

Sebagai catatan, angka kejadian aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup tinggi yaitu 2,3 juta per tahun. “Dan 20 persen di antaranya adalah remaja,” kata Guru Besar FK Universitas Udayana, Bali ini. Tindakan aborsi bisa menimbulkan bahaya, sekalipun dilakukan oleh dokter, meski tidak seberat seperti yang timbul akibat aborsi oleh tenaga tidak profesional.
“Perdarahan dan infeksi setelah aborsi mungkin saja terjadi, seperti juga robekan rahim. Tidak sedikit wanita yang mengalami  kemandulan akibat infeksi setelah mengalami aborsi,” tambah Prof. Wimpie.

Informasi Keliru
Untuk itu, lanjut Kepala Bagian Andrologi di FK Universitas Udayana ini, pendidikan seks tidak bisa ditunda lagi. Tak hanya dari orangtua, tetapi juga pendidikan di sekolah. “Harus ada sekolah yang memeloporinya,” katanya dalam seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Pelita Harapan, Globe Asia, dan Kemang Village beberapa waktu lalu di Jakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com